Oleh: Mislam
Ketua LMR-RI Komwil Riau
Dan Pemerhati Teknologi
NUSANTARAEXPRESS, DURI - Pemilihan kepala daerah (Pilkada) merupakan momen penting dalam demokrasi Indonesia. Idealnya, kontestasi politik ini menjadi ajang bagi para calon untuk menawarkan gagasan dan solusi terhadap masalah-masalah yang dihadapi masyarakat. Namun, realitas politik di lapangan seringkali menunjukkan bahwa visi dan misi para calon tidak selalu menjadi faktor utama dalam mempengaruhi elektabilitas mereka. Alih-alih, popularitas, keviralan, dan kemampuan kandidat untuk menciptakan narasi yang menarik justru sering menjadi penentu utama kemenangan.
Fenomena ini dipicu oleh beberapa faktor, salah satunya adalah perubahan dalam cara masyarakat mengonsumsi informasi. Media sosial telah menjadi arena utama bagi kampanye politik modern, di mana konten yang viral memiliki kekuatan luar biasa untuk membentuk persepsi publik. Calon yang mampu menciptakan sensasi atau tampil menarik di platform digital seringkali lebih mudah mendapatkan perhatian publik, terlepas dari kedalaman visi dan misi yang mereka tawarkan. Pada titik ini, kriteria yang digunakan oleh pemilih untuk memilih pemimpin mengalami pergeseran.
Viralitas, sayangnya, lebih mudah dicapai melalui kontroversi, hiburan, atau gaya komunikasi yang populis, ketimbang dengan perdebatan substansial terkait kebijakan publik. Banyak kandidat yang lebih memilih untuk fokus pada citra diri dan strategi pencitraan yang menarik perhatian, karena mereka menyadari bahwa itu lebih efektif dalam menjaring suara ketimbang penjelasan teknis tentang visi dan misi. Selain itu, masyarakat cenderung lebih mudah mengingat sosok yang menarik perhatian, daripada gagasan yang rumit dan memerlukan pemikiran kritis.
Fenomena ini menimbulkan beberapa kekhawatiran. Pertama, ketika visi dan misi tidak lagi menjadi fokus utama, pemilih bisa terjebak dalam pilihan yang didasarkan pada popularitas semata, bukan kompetensi atau kapabilitas calon untuk memimpin. Ini berpotensi menghasilkan pemimpin yang kurang memadai dalam memahami permasalahan kompleks di daerahnya atau kurang memiliki komitmen pada visi pembangunan yang berkelanjutan.
Kedua, maraknya penggunaan media sosial untuk kampanye politik juga membuat proses demokrasi menjadi lebih rentan terhadap manipulasi. Kandidat yang memiliki tim digital yang kuat bisa menciptakan persepsi yang tidak sesuai dengan kenyataan, memoles citra mereka tanpa benar-benar memperlihatkan substansi. Pada akhirnya, konten yang viral bisa saja menjadi alat yang lebih efektif untuk mengalihkan perhatian dari isu-isu mendasar dan menggiring opini publik pada narasi yang dangkal.
Namun, bukan berarti semua calon yang terkenal atau viral tidak memiliki visi yang baik. Beberapa dari mereka mampu memanfaatkan popularitas mereka untuk mendistribusikan pesan-pesan politik yang substansial dan memikat pemilih dengan visi yang jelas. Tantangannya adalah bagaimana calon-calon ini bisa menyeimbangkan antara kebutuhan untuk "viral" dengan penyampaian gagasan yang bermakna dan relevan dengan kebutuhan masyarakat.
Sebagai masyarakat, pemilih harus semakin cerdas dan kritis dalam menyaring informasi. Pemilih perlu memastikan bahwa mereka memilih berdasarkan kualitas visi dan misi yang ditawarkan oleh kandidat, bukan sekadar popularitas atau sensasi yang diciptakan di media sosial. Pada akhirnya, pemimpin yang baik adalah mereka yang memiliki kemampuan untuk merumuskan visi yang jelas dan solutif bagi daerah yang mereka pimpin, bukan sekadar nama yang terkenal di layar gawai.
Demokrasi yang sehat membutuhkan pemimpin yang memiliki integritas dan visi, bukan hanya mereka yang bisa viral. Akan sangat disayangkan jika politik hanya menjadi ajang kompetisi popularitas, tanpa diimbangi dengan pertimbangan rasional yang matang dalam memilih. Perubahan harus dimulai dari kesadaran pemilih bahwa yang penting bukan hanya "viral dan terkenal", tapi juga kualitas gagasan dan kepemimpinan yang ditawarkan oleh para calon pemimpin kita.
Duri, 22 September 2024