"Belajar dari Adian (bukan) Napitupulu"
Oleh Agung Marsudi
Akhir-akhir ini nada bicaranya tinggi, bahkan emosi, meluap-luap, mungkin karena tak pernah terima suap.
Bisa dibayangkan pernyataannya menohok-menusuk. Pak Jokowi itu telah "ditolong" PDIP 7 kali. Saat jadi walikota, gubernur DKI, presiden 2 periode, walikota anaknya, walikota menantunya. Kini kok dia "berubah".
Sayapun coba menerka, katanya di dunia politik, "tak ada makan siang yang gratis". Waktu pak Jokowi mendapat "rekomendasi" dari PDIP pakai "uang" gak ya? Apa gratis, ya?
Sosok yang berani, dengan nada tinggi itu, namanya Adian Napitupulu. Tetangga saya di Duri, Riau namanya sama dengan nama beliau. Gayanya sama, marganya beda.
Di Duri, Riau sehari-hari saya tak bisa dipisahkan dengan "kelugasan" mereka, ada pak Tompul, pak Tobing, pak Juntak, Panjaitan, Simbolon, Sihombing, Sinaga, Tambunan, Hutabarat, Harahap, Marbun, Siregar, Lubis, Nasution. Berbeda-beda marganya, tapi tetap satu jua. Itulah, Batak.
"Meski berbeda-beda, pilihannya satu Jokowi," kata mereka. Itu dulu. Itu dulu. Sekarang? Masih menunggu arahan.
Sementara saya tak yakin, mereka mau diarah-arahkan. Karena kutahu mereka semua adalah "Raja".
"Hepeng do na mangatur nagaraon".
Uang yang mengatur negara ini
Ganjar, Prabowo, Anies. Semua takut pada IKN rupanya. "Bah, ngeri kali, negeri ini!"
Solo, 9 November 2023