Pertanian Kolonial vs Petani Milenial
Oleh Agung Marsudi
KOMENTAR "pertanian kolonial", pertama saya dengar di akun medsos mbak Luluk Nur Hamidah (LNH), anggota DPR RI Dapil Jateng IV, Sragen, Karanganyar, Wonogiri, dari Partai Kebangkitan Bangsa.
Ia menyebut, _"Ini namanya pertanian kolonial, petani disuruh nanem produksi tapi gak boleh menikmati hasilnya"_. Kegeraman Mbah Luluk itu pokoknya terkait dengan sengkarut "perberasan" nasional.
Gayung bersambut. Seperti menjawab keluhan mbak Luluk, belum lama ini di Sragen, di daerah pemilihannya, baru saja diresmikan oleh Presiden Jokowi sebuah pabrik mesin penggilingan padi modern, yang didirikan di desa Karangmalang, kecamatan Masaran. Sebuah infrastruktur pasca panen Modern Rice Milling Plant (MRMP).
Sementara jauh di ujung Kedawung, Sragen, Eko Suwarno dan beberapa kawannya sedang getol mengkampanyekan "petani milenial". Sebuah wadah, menampung anak-anak muda, untuk mau bertani secara modern. Spirit baru bertani. Hasilnya panen anggurnya ludes terjual hanya dalam hitungan jam, usai panen. Sebab, tak tanggung-tanggung bibit anggur yang ditanamnya jenis unggulan yang didatangkan dari Ukraina dan Israel.
Kini di musim tanam kedua di greenhousenya, mas Eko dan kawan-kawan sedang menunggu panen melon. Komoditas yang menurutnya memiliki nilai jual tinggi di bulan puasa dan hari raya.
Tak ada yang salah dengan bertani, menjadi petani dan pertanian. Yang memprihatinkan hanya nasib petani, sebab padi selalu saja menjadi komoditas politik. Musim tanam susah pupuk, mahal pupuk, musim panen harga anjlok. Benarlah kata bu menteri Sri Mulyani, bedanya negara maju dengan negara kita, "Negaranya tidur, orangnya kerja keras".
Amboi, negeri kaya padi, tapi impor beras.
Solo, 23 Maret 2023