POLITIK MIMIKRI
Oleh Agung Marsudi
KETUM Partai Golkar Airlangga Hartarto menyatakan kegembiraannya atas kembalinya Rhoma Irama ke pangkuan Partai Golkar.
"Senior kita, Kiai Haji Rhoma Irama, adalah kader Golkar. Sempat hijrah ke sana ke mari sebelum akhirnya kembali ke Partai Golkar," ujar Airlangga ketika memberi sambutan pada acara Buka Puasa Bersama PPK Kosgoro 57, Senin (25/4/2022).
Tepuk tangan meriah. Fadeout.
Itulah wajah politik negeri. Cermin, karakter ketokohan politik kita. Berubah wajah itu, berubah bentuk itu dianggap biasa, di tengah harapan besar kepada eksistensi politik yang berideologi. Tegak lurus. Istiqamah pada khittah.
Di era kepak sayap oligarki, "politik mimikri" dianggap destinasi. Layaknya eksodus karyawan perusahaan. Partai politik seakan menjadi milik Ketua Umum ketika musim pilkada, bermimikri menjadi korporasi, karena tanda tangan rekomendasi yang dimonetisasi, tapi ketika musim pemilu, karena "butuh orang-orang" berubah menjadi koperasi.
Korporasi kumpulan modal, koperasi kumpulan orang-orang. Rakyat diimingi SHU, bukan Sisa Hasil Usaha, tapi Sumbangan Hasil Utang.
Suksesi 2024 sudah dekat. Segala cara tempuh. "Tampar kiri kanan, alasan untuk makan, padahal semua tahu, mereka serba kecukupan". Orang kaya berpartai untuk apa, orang miskin berpartai mencari apa. Menjadi kader partai, untuk siapa?
Begitu jaring-jaring makannya.
Mimikri adalah adaptasi makhluk hidup dengan menyamarkan dirinya menyerupai lingkungaannya untuk mengelabui mangsa. Hewan yang memiliki kemampuan ini, dalam pelajaran sekolah, sosoknya dicontohkan seperti bunglon.
Ketokohan, adalah panutan yang sudah biasa diperjualbelikan, seperti suara. Apa bedanya, "Suara Golkar, Suara Rakyat" dengan "Suara Rakyat, Suara Golkar". Sebab berkali-kali pemilu, kotak suara pun tak pernah bersuara.
Harga mati, atau mati harga. Seperti minyak goreng, suara tokoh, kini sudah murah harganya.
Duri, 26 April 2022