Ortodoksi Demokrasi
Oleh Agung Marsudi
DEMOKRASI tapi doktrinal.
Catatan ini, igauan pagi hari, menanya kembali demokrasi, sebagai sistem yang konon diyakini kebenarannya, diterima sebagai jalan menata dan mengelola sebuah negara.
Benarkah demokrasi sudah masuk akal, diterima akal dan "ketemu" akal. Sehingga kumpulan manusia, yang memiliki wilayah, punya aturan, ada pengakuan, jamak disebut negara. Sejak kapan demokrasi setubuh dengan terbentuknya negara, sebagai kontrak sosial.
Kampanye kebebasan, yang dikandung demokrasi, berselisih jalan, dengan pemikiran yang terus berkembang, di benua-benua berbeda, dari jaman ke jaman.
Sejak lahir, manusia adalah makhluk sosial. Ia tak bisa hidup sendirian. Dalam konteks negara, kumpulan manusia itu justru sering tak dihargai kehormatan asasinya sebagai makhluk sosial. Demokrasi yang katanya menghargai hak-hak kemerdekaan sipil, berbenturan dengan kerakusan kolektif, mencapai tujuan bernegara (dan berbangsa).
Perserikatan antar negara (versinya bangsa-bangsa) juga melahirkan ruang hampa. Arogansi negara-negara adidaya. Yang kuat, yang menang. Klaim demokrasi di organisasi antar negara, dibelenggu dengan masih beruratnya "hak veto".
Dalam konteks Indonesia, sebuah majelis permusyawaratan rakyat, yang keanggotaannya mensyaratkan perolehan suara terbanyak, melalui pemilihan, sebagai perwakilan rakyat, dan daerah, juga berputar-putar di sirkuit yang sama. Duduk, diam, di kursi. Semua sudah ada aturannya. Tata tertibnya. Protokol. Prosedurnya.
Diksi fraksi, dalam pemahaman sederhana "pecahan" dari bagian keseluruhan. Menandakan ketaatan lebih kepada partai, bukan kepada rakyat, konstituen yang memilihnya.
Seperti hewan, jaring-jaring politik sebagai siklus makan memakan. Politik dalam teori, praktik, dan seni bertemu di persimpangan sejarah, senjata, dan "sejatah" kekuasaan. Lalu embrio politik dinasti, tumbuh, besar, silih berganti. Tak henti. Dari generasi ke generasi.
Jalan tiga periode, menghalangi laluan si puan, pindah duduk dari Senayan. Demokrasi terpimpin, seumur hidup. Maksudnya, ada partai demokrasi, yang ketua umumnya tak pernah ganti-ganti.
Reformasi, tapi "Ojo pedhot, oyote!" Ortodoksi demokrasi yang menggelikan.
Duri, 26 April 2022