Koalisi Bikin Hipertensi
Oleh Agung Marsudi
PERSETUBUHAN partai politik di negeri ini, instan, dan transaksional. Hangatnya, hanya di mulut saja. Dulu ada istilah rekening gendut, kini ada koalisi sapi gemuk. Era kepak sayap oligarki, yang menyisakan 22 bulan lagi itu, menumbuhkan jerawat baru.
Pemerintahan Jokowi jilid 2, juga menyisakan 22 halaman. Halaman pertama, dan yang paling krusial adalah soal utang yang akan diwariskan, pada siapapun presiden penggantinya. Halaman kedua, penggantinya adalah orang yang dari awal sekamar dengannya, mau melanjutkan acara "pindah rumah" dari Jakarta ke Nusantara.
"Itulah, legacy darinya!"
Dua puluh halaman selanjutnya, diberikan untuk para pembantunya yang kini sudah ancang-ancang mengikuti kompetisi 2024. Tentu tidak gratis. Sekelas Prabowo, Airlangga Hartato, Sandiaga Uno, dan satu yang tak berakhiran "O" yaitu Erick Thohir.
Sedang, calon kandidat yang lain diserahkan pasar. Baik pasar modal, pasar sosial maupun pasar tradisional. Lapak partai baru, dan baru partai.
Memang, sejatinya pemilik utama koalisi bukan Jokowi, tapi Megawati. Tapi di waktu tersisa, Megawati bisa apa. Satu-satunya mesin dozer yang bisa digunakan untuk mendorong adalah "Para Pjs" yang akan mengganti para kepala daerah, dampak pilkada serentak 2024.
Megawati tetap di sumbunya.
Suksesi 2024 bakal seru. Butuh sekutu, untuk berseteru. Sekutu yang masih berlaku, seperti koalisi olahan susu sapi, yang bikin hipertensi. Partai politik berikut ketua umumnya, yang namanya sudah tercatat di KPK, ngeri-ngeri sedap menghadapi kontestasi 2024. "Maju kena, mundur kena".
Ingat, barisan para "pendengung" juga habis masa berlakunya.
Koalisi tak lagi soal sinergitas, dan menumpuk-numpuk suara, tapi keberanian merebut hati rakyat, dengan lompatan yang tinggi, dan prima.
Dan jangan lupa, soal utang dan ibukota. Ia bakal menjadi pemicu, isu utama, saat debat kandidat, dan jaring laba-laba penangguk suara. "Urraa!"
Duri, 28 April 2022