Foto: Fachrul Razi (kiri) dan Wakil Jaksa Agung, Sunarta (kanan) dan para anggota DPD R.I usai rapat kerja
NUSANTARAEXPRESS,
JAKARTA - Dihadapan Wakil Jaksa Agung R.I, Dr. Sunarta, Ketua
Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) R.I, Fachrul Razi, M.I.P meminta agar
kasus Ketua Umum Dewan Pengurus Nasional Persatuan Pewarta Warga Indonesia (DPN
PPWI), Wilson Lalengke, dapat diselesaikan dengan ‘Restorative Justice’.
Hal itu diungkapkan Fachrul Razi disela Rapat Kerja Komite I DPD R.I dengan
Jaksa Agung R.I, yang berlangsung di Gedung DPD RI, Kompleks Parlemen, Senayan,
Jakarta, Senin (4/04/2022).
Senator DPD R.I asal provinsi Aceh ini menjelaskan secara ringkas, terkait
penangkapan Wilson Lalengke di Polres Lampung Timur, yang bermula dari adanya
wartawan anggota PPWI Lampung Timur (M. Indra-red), yang memberitakan tentang
perselingkuhan dari salah satu saudara pejabat disana. Akhirnya, wartawan
tersebut disergap polisi dengan tuduhan memeras, padahal dijebak.
Atas penangkapan itu, Wilson Lalengke sebagai Ketua Umum PPWI turun ke
Lampung Timur, dalam rangka mempertanyakan penangkapan anggotanya, M. Indra.
Namun, ketika di Polres Lampung Timur ada papan bunga yang bertuliskan Ucapan
Selamat atas penangkapan wartawan (pemeras-red), dan karena dianggap tidak
benar, maka Wilson Lalengke dan kawan-kawannya merubuhkan papan bunga tersebut.
Atas peristiwa itu, lanjut Fachrul Razi, Wilson Lalengke dan kawan-kawan
ditangkap, dan ditahan di Polres Lampung Timur, dan saat ini sudah dilimpahkan
ke Kejaksaan.
“Saya pikir kasus seperti ini mestinya bisa dilakukan dengan pendekatan
Restorative Justice saja. Dan ini sudah dilimpahkan ke Kejaksaan. Maka saya minta
perhatian khusus dari pak Wakil Jaksa Agung Sunarta ya,” tandasnya.
Dikatakan Fachrul Razi, saat masyarakat sedang menjalankan ibadah puasa
sekarang ini, maka persoalan ini hendaknya dapat diselesaikan secara baik-baik.
“Saya pikir, ini ada mis-komunikasi saja. Dan saat masyarakat sekarang ini
sedang menjalankan ibadah puasa, maka hendaknya hal ini dapat diselesaikan
dengan baik-baik,” pintanya.
Sebelumnya telah dibahas, bagaimana agar Komite I DPD R.I dan Jaksa Agung,
secara bersama-sama mendorong penegakan hukum dengan Restorative Justice, dan
mendorong lahirnya Undang-undang yang mengatur tentang penegakan hukum melalui
penerapan Restorative Justice (RJ) baik di tingkat pusat maupun di daerah.
Dalam penegakan hukum di daerah, Fachrul Razi melihat, khususnya
penyelenggara pemerintahan, baik Daerah maupun Desa, penerapan RJ menjadi
sangat krusial, apabila terjadi masalah hukum dalam kebijakan-kebijakan mereka.
“Komite I DPD RI saat ini mendorong adanya aturan yang lebih tinggi yang
mampu mengatur dan menjadi acuan dalam menyelesaikan kasus perkara Restorative
Justice di daerah,” ungkap Fachrul Razi yang didampingi Wakil Ketua Komite I
Fernando Sinaga dan Ahmad Bastian.
Untuk kasus-kasus kesalahan administratif, pejabat baik yang mengandung
unsur penyalahgunaan wewenang maupun tidak, penyelesaiannya dilakukan di luar
pengadilan melalui proses pengembalian kerugian Negara. Hal ini sejalan dengan
semangat RJ yang tidak harus selalu berakhir dengan memidanakan pejabat.
Sementara itu, Wakil Jaksa Agung RI Sunarta mengungkapkan, tahun 2021
menjadi momentum bersejarah dalam penegakan hukum di Indonesia khususnya
Kejaksaan RI, dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 11 tahun 2021 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,
perubahan UU tersebut bentuk penguatan kejaksaan dan lebih penting kepedulian
komitmen penguatan penegakan hukum dan pemenuhan rasa keadilan masyarakat.
“Dengan terbitnya perubahan UU tersebut, memberi semangat baru bagi kami
dalam komitmen penegakan hukum di Indonesia. Berkaitan dengan penegakan
Restorative Justive yang dilakukan oleh kejaksaan mendapat respon positif dari
masyarakat,” ucap Sunarta.
Wakil Jaksa Agung menambahkan, strategi yang dilakukan kejaksaaan yaitu
dengan menerbitkan aturan pelaksanaan RJ dalam SE No.01/E/Ejp/02/2022 dan
melakukan sosialisasi dan pendekatan ke masyarakat dalam membentuk Kampung
Restorative Justice.
“Kami memandang perlu aturan yang lebih tinggi setingkat UU sehingga dalam penyelesaian perkara RJ akan mengacu pada UU tersebut, sehingga kami sepakat UU yang terkait pelaksanaan RJ sangat diperlukan,” pungkasnya. [DANS/Red]