Kini Saatnya Kita Kembali (Lagi)
Oleh Agung Marsudi
KITAB pegangan Indonesia itu bernama UUD 1945. Artinya bertahun 1945. Itu uniknya. Para pendiri bangsa, memberi angka tahun di belakang UUD.
Jika kemudian di era reformasi, rentang 1999-2002 diamandemen 4 kali, mereka tidak berhak memberi tahun di belakangnya. Sebab UUD sudah bertahun 1945. Ya, konstitusi itu tentu bukan kitab suci. Sehingga para politisi kini, merasa sesukanya punya hak mengubah, menambah, mengganti, mengurangi, dan "menghapus".
Suasana kebatinan saat penyusunan UUD 1945 berbeda, dengan semangat kekinian, yang "merasa" serba harus disesuaikan dengan kehendak jaman atau format kehendak politik kekuasaan.
Faktanya, sumpah setia para aparatur negara, tetap mengacu pada "setia pada UUD 1945" tidak diikuti dengan janji "setia kepada UUD 1945 beserta amandemen-amandemennya".
"Bahwa saya setia kepada UUD 1945, dan akan memelihara segala undang-undang dan peraturan yang berlaku bagi negara Republik Indonesia".
Jika sumpah jabatan itu dihayati dan dilaksanakan dengan kesadaran penuh, logikanya tak ada pejabat di negeri ini yang setuju amandemen. Para ahli hukum tata negara tak boleh menutup mata.
Dulu, pernah heboh kitab suci itu fiksi. Apalagi ini, konstitusi. Mabuk kekuasaan menutup rasa hormat kepada para pendiri bangsa, yang telah mengorbankan jiwa dan raganya untuk Indonesia. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa para pahlawannya.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959, untuk kembali ke UUD 1945 adalah bukti, bahwa kita pernah kembali. Dan kini saatnya kita kembali (lagi).
Solo, 29 Maret 2022