Terganggu, Mengganggu, Gangguan
Oleh Agung Marsudi
MENGUMANDANGKAN adzan tanda waktu sholat sudah masuk, niatnya mau sholat. Muadzin, orang yang menyeru, adalah orang baik-baik. Sebelum adzan mengambil air wudhu. Jelas, tidak berniat mengganggu.
Siapa yang terganggu? Dimana posisinya, berapa jumlahnya, berapa lama, seberapa jauh tempat tinggalnya. Kalau kaitannya dengan keras tidaknya suara. Ada gak analisis dampak suaranya.
Jenis telinganya seperti apa, buatan siapa?
Jika hasil analisisnya naik pada level gangguan, lalu apa yang harus dilakukan, siapa yang bertanggung jawab. Laporannya kemana.
Saya jadi teringat, deretan pidato ini:
"Kebanyakan peraturan kita pusing sendiri. Negara ini sudah kebanyakan peraturan. Dan negara kita ini bukan negara peraturan. Semua diatur-semua diatur, malah kita kejerat sendiri," ujarnya.
Apa yang dikatakan sang menteri agama Republik Indonesia, Nusantara seperti bercermin di kaca yang retak. Miris dengan kompetensi seorang menteri di era kepak sayap oligarki.
Sampai Ki Dalang yang sedang memainkan lakon Petruk Dadi Ratu, tak sanggup berkata-kata. "Iki pandito soko ngendi, ujug-ujug membo satrio, otot kawat baling wesi. Ora tedas ukum".
Pandito pancere kudu jejeg ben iso mengendalikan sing papat; amarah, aluamah, supiyah, dan muthmainah. Tangeh lamun isa memayu hayuning bawana, karyenak tyasing sasama wae kangelan.
Jagade cen ruwet, kitab suci do dienggo ajian pamungkas, untuk menghalalkan "homo homini lupus".
Suara adzan itu panggilan. Bukan gangguan.
Solo, 26 Februari 2022