"Boleh Pilih Pakai Otak atau Tidak"
Oleh Agung Marsudi
HARI INI hari terakhir bulan Januari, besok Selasa, adalah perayaan tahun baru Imlek, bertepatan dengan 1 Februari 2022.
Sebelum maghrib, saya dikirimi postingan menggelitik, dari kawan lama:
"Warung nasi Padang adalah tempat paling demokratis di muka bumi... Di situ orang boleh memilih, mau pakai otak atau tidak..."
Saya membaca dengan serius. Lalu beberapa saat baru mengerti, kemana arah postingan yang menarik itu. "Boleh memilih, mau pakai otak atau tidak".
Agaknya ada hubungan mesra, antara demokrasi dengan makan.
Nikmatnya makan bersama para oligarki, di negeri +62. Urusan makan, adalah irisan negara. Dan perlu dianggarkan. Tentu masih seputar urusan selera, yang berkelindan dengan urusan "makan-memakan", selera(nya) nusantara.
"Makan, memakan, dimakan, pemakan, makanan". Politik kita, seperti satwa berjenis omnivora, "pemakan segala makanan".
Bahkan ketika "bersatwa", dialas dengan fatwa.
Hukum politik, politik hukum. Hukum dagang, dagang hukum. Meski, masih boleh memilih, pakai otak atau tidak. Sebab ada alternatif "kepala kakap" yang dijamin lebih sedap.
Memang, di warung nasi Padang adalah tempat paling demokratis di muka bumi... Di situ orang boleh memilih, mau pakai otak atau tidak..."
Sayang, waktu giliran "pembagian otak" banyak yang tidak kebagian. Sehingga wajar jika negeri ini berdemokrasi "tanpa otak".
Pesta politik 2024 tinggal 730 hari, rumah makan Padang, memerlukan banyak persediaan otak. Sehingga demokrasi tidak melahirkan politik "basalemak peak", karena defisit "otak".
Oligark digandeng, dan digendong! Apalagi di acara "Mana Suka Siaran Niaga", sebelum pindah ibukota.
Duri, 31 Januari 2022