Yusril dan Yuri mengatakan bahwa langkah menguji formil dan
materil AD/ART Parpol merupakan hal baru dalam hukum Indonesia. Keduanya
mendalilkan bahwa Mahkamah Agung berwenang untuk menguji AD/ART Parpol karena
AD/ART dibuat oleh sebuah parpol atas perintah undang-undang dan delegasi yang
diberikan Undang-Undang Partai Politik. Nah, kalau AD/ART Parpol itu ternyata
prosedur pembentukannya dan materi pengaturannya ternyata bertentangan dengan
undang-undang, bahkan bertentangan dengan UUD 1945, maka lembaga apa yang
berwenang untuk menguji dan membatalkannya?
Ada kevakuman hukum untuk menyelesaikan persoalan di atas.
Mahkamah Partai yang merupakan quasi peradilan internal partai, tidak berwenang
menguji AD/ARD. Begitu juga Pengadilan Negeri yang berwenang mengadili
perselisihan internal parpol yang tidak dapat diselesaikan oleh Mahkamah
Partai, tidak berwenang menguji AD/ART. Pengadilan TUN juga tidak berwenang
mengadili hal itu karena kewenangannya hanya untuk mengadili sengketa atas
putusan tata usaha negara. Karena itu saya menyusun argumen — yang Insya Allah
cukup meyakinkan — dan dikuatkan dengan pendapat para ahli antara lain Dr Hamid
Awaludin, Prof Dr Abdul Gani Abdullah dan Dr Fahry Bachmid, bahwa harus ada
lembaga yang berwenang menguji AD/ART untuk memastikan apakah prosedur
pembentukannya dan materi muatannya sesuai dengan undang-undang atau tidak.
Sebab penyusunan AD/ART tidaklah sembarangan karena dia dibentuk atas dasar
perintah dan pendelegasian wewenang yang diberikan oleh undang-undang.
Yusril dan Yuri mengatakan bahwa kedudukan Parpol sangatlah
mendasar dalam kehidupan demokrasi dan penyelenggaraan negara kita. Ada 6
(enam) kali kata partai politik disebutkan di dalam UUD 1945. Ada puluhan kali
partai politik disebut di dalam undang-undang, bahkan ada undang-undang khusus
yang mengatur partai politik, seperti yang sekarang berlaku yakni UU No 2 Tahun
2008 tentang Partai Politik dengan perubahan-perubahannya. Lembaga-lembaga
seperti Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi malah tidak satu
kalipun disebut di dalam UUD 1945.
Di dalam UUD 1945 disebutkan antara lain bahwa hanya partai
politik yang boleh ikut dalam Pemilu Legislatif (Pileg), hanya partai politik
yang boleh mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden. Usai Pemilu, fraksi-fraksi
partai politik memainkan peranan besar dalam mengajukan dan membahas RUU,
membahas calon duta besar, Panglima TNI dan Kapolri, Gubernur BI, BPK, KPK dan
seterusnya. Di daerah, sebelum ada calon independen, hanya partai politik yang
bisa mencalonkan Kepala Daerah dan Wakilnya. Begitu partai politik didirikan
dan disahkan, partai tersebut tidak bisa dibubarkan oleh siapapun, termasuk
oleh Presiden. Partai politik hanya bisa dibubarkan dengan Putusan Mahkamah
Konstitusi.
Nah, mengingat peran partai yang begitu besar dalam kehidupan
demokrasi dan penyelenggaraan negara, bisakah sebuah partai sesuka hatinya
membuat AD/ART? Apakah kita harus membiarkan sebuah partai bercorak oligarkis
dan monolitik, bahkan cenderung diktator, padahal partai adalah instrumen
penting dalam penyelenggaraan negara dan demokrasi? Jangan pula dilupakan bahwa
partai-partai yang punya wakil di DPR RI itu juga mendapat bantuan keuangan
yang berasal dari APBN yang berarti dibiayai dengan uang rakyat. Saya
berpendapat jangan ada partai yang dibentuk dan dikelola “suka-suka” oleh para
pendiri atau tokoh-tokoh penting di dalamnya yang dilegitimasi oleh AD/ARTnya
yang ternyata bertentangan dengan undang-undang dan bahkan UUD 1945.
Mahkamah Agung harus melakukan terobosan hukum untuk
memeriksa, mengadili dan pemutus apakah AD/ART Partai Demokrat Tahun 2020
bertentangan dengan undang-undang atau tidak? Apakah perubahan AD/ART dan
pembentukan AD/ART Partai Demokrat Tahun 2020 telah sesuai dengan prosedur yang
diatur oleh undang-undang atau tidak? Apakah materi pengaturannya, seperti
kewenangan Majelis Tinggi yang begitu besar dalam Partai Demokrat, sesuai tidak
dengan asas kedaulatan anggota sebagaimana diatur dalam UU Partai Politik?
Apakah wewenang Mahkamah Partai dalam AD/ART yang putusannya
hanya bersifat rekomendasi, bukan putusan yang final dan mengikat sesuai tidak
dengan UU Partai Politik? Apakah keinginan 2/3 cabang Partai Demokrat yang
meminta supaya dilaksanakan KLB baru bisa dilaksanakan jika Majelis Tinggi
setuju, sesuai dengan asas kedaulatan anggota dan demokrasi yang diatur oleh UU
Parpol atau tidak? Demikian seterusnya sebagaimana kami kemukakan dalam
permohonan uji formil dan materil ke Mahkamah Agung.
Menteri Hukum dan HAM memang diberi kewenangan untuk
mensahkan AD/ART partai politik ketika partai itu didirikan dan mengesahkan
perubahan-perubahannya. Namun sebagai pejabat yang hanya bertugas untuk
mengesahkan, Menteri Hukum dan HAM biasanya dalam posisi “tidak enak” untuk
memeriksa terlalu jauh materi pengaturan AD/ART partai politik yang diajukan
kepadanya. Apalagi menteri tersebut juga berasal dari partai politik tertentu.
Menkumham tidak boleh punya kepentingan terhadap AD/ART
sebuah partai yang diminta untuk disahkan. Jadi urusan prosedur pembentukan dan
materi pengaturannya memang lebih baik diuji formil dan materil oleh Mahkamah
Agung. Sehingga jika seandainya Mahkamah Agung memutuskan AD/ART itu
bertentangan dengan UU, maka Menkumham sebagai Termohon tinggal melaksanakan
saja amar putusan Mahkamah Agung, dengan mencabut Keputusan Pengesahan AD/ART
partai tersebut.
Kami berpendapat bahwa pengujian AD/ART Partai Demokrat ke
Mahkamah Agung ini sangat penting dalam
membangun demokrasi yang sehat di negara kita. Bisa saja esok lusa akan ada anggota
partai lain yang tidak puas dengan AD/ARTnya yang mengajukan uji formil dan
materil ke Mahkamah Agung. Silahkan saja. Sebagai advokat, kami bekerja secara
profesional sebagai salah satu unsur penegak hukum di negara ini sesuai
ketentuan UU Advokat. Keterliban kami dalam menangani judicial review ini
adalah juga tanggungjawab kami kepada negara dalam membangun hukum dan
demokrasi.
Bahwa ada kubu-kubu tertentu di Partai Demokrat yang sedang bertikai, kami tidak mencampuri urusan itu. Urusan politik adalah urusan internal Partai Demokrat. Kami fokus kepada persoalan hukum yang dibawa kepada kami untuk ditangani. (TIM/Red)