"INDONESIA BIKE"
Narasi beda, opini sama
Oleh Agung Marsudi
Narasi kegetiran, narasi kebhinnekaan, narasi kemiskinan. Narasi korupsi, narasi utang, narasi politik, narasi amandemen. Narasi daring, narasi pandemi, narasi vaksinasi. Semua narasi membutuhkan deskripsi yang detail dan matang, memerlukan argumentasi yang pas dan jelas. Yang itu, menjadi konsumsi bergizi di kalangan politisi dan akademisi.
Tapi bagi rakyat kecil mereka tak butuh narasi, yang dibutuhkan "nasi". Ya, nasi yang bisa mengisi perut anak dan istri, dari hari ke hari. Semoga pemerintah mengerti petuah, "Ora obah, ora mamah"
Pemerintah melekat di negara, karenanya ada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, padahal mestinya itu anggaran pemerintah.
Sementara, rakyat tak serta merta melekat ke negara, rakyat dibutuhkan hanya lima tahun sekali ketika pesta demokrasi. Selebihnya rakyat hanya menjadi alasan, program sedu sedan.
Eloklah bila demokrasi itu seperti nasi, dibutuhkan setiap hari, dan bukan lima tahun sekali. Sehingga pestanya, bisa dinikmati.
Kepak sayap kapitalisme, liberalisme, komunisme, sosialisme, biarlah menginspirasi kaum muralisme, yang getir pada keadaan. Lalu mengekspresikan narasi hatinya pada mural. "Mural yang Nakal". Mural dan moral ketemu di akal, masuk akal dan diterima akal.
Dipilih oleh rakyat secara langsung, kok mudah tersinggung. Narasi boleh beda, tapi opininya sama. "Indonesia Bike".
Duri, 25 Agustus 2021