NUSANTARAEXPRESS, JAKARTA - Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, berharap polemik seputar dana haji bisa diminimalisir. Oleh sebab itu, LaNyalla meminta Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) agar lebih transparan.
LaNyalla menyampaikan hal tersebut menanggapi langkah BPKH mengalokasikan dana olahannya pada usaha mikro dan menengah, melalui program Unit Layanan Modal Mikro (ULaMM) Syariah, dan Pembinaan Ekonomi Keluarga Sejahtera (Mekaar) Syariah untuk membantu masyarakat.
"Dana haji adalah dana milik umat. Sehingga transparansi sangat dibutuhkan. Hal ini juga harus dilakukan agar tidak memicu polemik," tuturnya, Jumat (11/6/2021).
Menurutnya, penggunaan dana haji yang diinvestasikan sangat penting untuk ditunjukan kepada masyarakat, bukan hanya sebatas narasi keamanan investasi.
"Oleh sebab itu, BPKH harus lebih transparan kepada masyarakat, agar masyarakat mengetahui uangnya ada di mana dan berapa hasil investasinya, serta berapa besar manfaatnya untuk umat dan manfaatnya untuk urusan haji sendiri. Masyarakat perlu penjelasan yang riil dan langsung," katanya.
Selain itu, investasi menyasar surat berharga syariah negara (SBSN), Sukuk Korporasi, dan Surat Berharga Korporasi. Dengan imbal hasil yang beragam. Untuk syariah, mencapai 4 persen lebih, dan surat berharga proyeksinya mencapai 7,5 persen hingga 8 persen.
"Penjelasan detail seperti ini harus disampaikan agar tidak terjadi multipersepsi di masyarakat," katanya.
Penggunaan Dana Haji untuk kredit mikro, telah disetujui anggota BPKH maupun dewan pengawas. Langkah ini merupakan komitmen BPKH agar penggunaan dana haji bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Namun, mantan Ketua Umum PSSI itu berharap langkah BPKH harus jelas dan transparan.
"Apalagi memang tugas BPKH tidak mudah. Mereka bertanggungjawab dalam menutupi subsidi penyelenggaraan Ibadah Haji. Sehingga harus ada terobosan. Selama bisa dipertanggungjawabkan, transparan dan tidak berpolemik, kita akan mendukung langkah tersebut," katanya.
BPKH sendiri harus menyediakan sekitar Rp 7-Rp 7 triliun dalam satu tahun untuk menutupi subsidi penyelenggaraan haji. Selain itu, BPKH juga harus membayar virtual account, yang tahun lalu dianggarkan Rp 2 triliun untuk jemaah. (*)
LaNyalla menyampaikan hal tersebut menanggapi langkah BPKH mengalokasikan dana olahannya pada usaha mikro dan menengah, melalui program Unit Layanan Modal Mikro (ULaMM) Syariah, dan Pembinaan Ekonomi Keluarga Sejahtera (Mekaar) Syariah untuk membantu masyarakat.
"Dana haji adalah dana milik umat. Sehingga transparansi sangat dibutuhkan. Hal ini juga harus dilakukan agar tidak memicu polemik," tuturnya, Jumat (11/6/2021).
Menurutnya, penggunaan dana haji yang diinvestasikan sangat penting untuk ditunjukan kepada masyarakat, bukan hanya sebatas narasi keamanan investasi.
"Oleh sebab itu, BPKH harus lebih transparan kepada masyarakat, agar masyarakat mengetahui uangnya ada di mana dan berapa hasil investasinya, serta berapa besar manfaatnya untuk umat dan manfaatnya untuk urusan haji sendiri. Masyarakat perlu penjelasan yang riil dan langsung," katanya.
Selain itu, investasi menyasar surat berharga syariah negara (SBSN), Sukuk Korporasi, dan Surat Berharga Korporasi. Dengan imbal hasil yang beragam. Untuk syariah, mencapai 4 persen lebih, dan surat berharga proyeksinya mencapai 7,5 persen hingga 8 persen.
"Penjelasan detail seperti ini harus disampaikan agar tidak terjadi multipersepsi di masyarakat," katanya.
Penggunaan Dana Haji untuk kredit mikro, telah disetujui anggota BPKH maupun dewan pengawas. Langkah ini merupakan komitmen BPKH agar penggunaan dana haji bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Namun, mantan Ketua Umum PSSI itu berharap langkah BPKH harus jelas dan transparan.
"Apalagi memang tugas BPKH tidak mudah. Mereka bertanggungjawab dalam menutupi subsidi penyelenggaraan Ibadah Haji. Sehingga harus ada terobosan. Selama bisa dipertanggungjawabkan, transparan dan tidak berpolemik, kita akan mendukung langkah tersebut," katanya.
BPKH sendiri harus menyediakan sekitar Rp 7-Rp 7 triliun dalam satu tahun untuk menutupi subsidi penyelenggaraan haji. Selain itu, BPKH juga harus membayar virtual account, yang tahun lalu dianggarkan Rp 2 triliun untuk jemaah. (*)