NUSANTARAEXPRESS, JAKARTA - FGD Webinar yang bertajuk “Technology Implementation and Challenges in Mining Industry” telah dilaksanakan hari Kamis, 18 Maret 2021. Acara yang diselenggarakan di Kantor Micromine yang berlokasi di bilangan Jakarta Selatan dan disiarkan kepada peserta webinar maupun publik secara virtual, salah satunya di kanal Youtube Dunia Tambang.
Narasumber yang mengisi acara ini berasal dari berbagai kalangan dalam pertambangan. Narasuber tersebut terdiri dari Sahrul Hidayat selaku Regional Manager dari Micromine selaku technology provider; Bambang Tjahjono selaku Executive Director Asosiasi Jasa Pertambangan Indonesia (ASPINDO), yang bergerak di jasa pertambangan; dan Adhietya Saputra selaku VP Technical R&D Group di Mining and Minerals Industry Institute (MIND ID), holding industri pertambangan Indonesia. Selain narasumber, acara ini juga menghadirkan Dr Eng Stephanie Saing selaku General Manager PT Quantus Consultants Indonesia sebagai moderator.
Acara ini membawa perspektif narasumber mengenai teknologi dan tambang ke muka publik. Sahrul menjelaskan bahwa implementasi teknologi yang meluas di pertambangan dimulai dari tahun 2012, ketika pertambangan sudah memikirkan efisiensi biaya dan K3 (keselamatan dan kesehatan kerja) sebagai isu utama, berbarengan dengan kesadaran perusahaan untuk mengadopsi teknologi demi mengatasi isu tersebut. Menurut beliau, transformasi digital menjadi keharusan di tambang dalam menghadapi pertambangan yang semakin kompleks. “Selanjutnya adalah mengubah pola pikir penambang dalam memasukkan teknologi” ujar Sahrul.
Bambang melihat bahwa penerapan teknologi yang tepat guna di luar negeri tentu berbeda dengan definisi tepat guna untuk Indonesia. Di beberapa negara seperti Australia, pertambangan umumnya beralih ke peralatan kapasitas tinggi untuk menghemat labor cost. Sementara di Indonesia, masalah terbesar ada di crowdedness operasi yang mempengaruhi produksi bahkan keamanan. Sehingga Indonesia membutuhkan teknologi yang bisa meningkatkan efisiensi dalam produksi, waktu, hingga K3, seperti adopsi perangkat lunak dan manajemen big data untuk analisis prediktif.
Berbicara mengenai teknologi digital di tambang, Adhiet memandang bahwa penerapan teknologi sejatinya untuk transisi menuju tambang berkelanjutan sekaligus berdampak negatif seminimal mungkin. Dalam meraih tujuan tersebut, Adhiet menjabarkan tujuh tantangan. Ketujuh poin tersebut terdiri dari deposit tambang yang berkurang, pengurangan tenaga kerja, adaptasi big data & internet of things (IoT), keamanan siber, transparansi dalam praktis pertambangan yang etis, komitmen terhadap energi terbarukan, dan peralihan ke circular economy untuk memanfaatkan sisa tambang. “Jika tantangan tersebut dapat diatasi, maka tujuan dari tambang berkelanjutan akan terwujud” ujar Adhiet.
Ketika membahas penerapan teknologi digital dalam mengatasi masalah sosial lingkungan, Sahrul memberikan contoh penerapan sensor dalam kegiatan penutupan lahan hingga reklamasi dianggap sesuai mengingat penerapan serta tanggung jawab yang besar. Adhiet menambahkan bahwa adopsi teknologi untuk peningkatan efisiensi dan produktifitas juga mampu mereduksi emisi karbon, terutama mengingat bahwa industri tambang menyumbang emisi berjumlah besar sehingga digitalisasi perlu ditingkatkan.
Dalam membahas implementasi big data di pertambangan, Bambang menunjukkan banyak aspek yang dapat diimplementasikan dengan memberikan contoh dalam perbaikan infrastruktur tambang, pemeliharaan mesin secara rutin dengan memprediksi ketahanan alat sehingga mampu disesuaikan dengan jadwal operasi, serta konsumsi bahan bakar yang boros dan mahal dengan menginvestigasi penyebabnya. Adhiet pun menambahkan perilaku pekerja dalam operasional tambang dapat diprediksi dengan big data seperti mengawasi konsentrasi dalam mengemudikan dump truck.
Kemudian dalam diskusi mengenai dampak implementasi teknologi terhadap dinamika harga komoditas tambang, Bambang menngingatkan bahwa teknologi tidak serta merta mendikte harga bahan tambang.
“Jangan berharap banyak untuk mendapatkan harga tinggi dengan teknologi semata karena harga tambang dikendalikan oleh banyak faktor dan cukup kompleks” ujar Bambang.
Sedangkan Adhiet mengatakan bahwa digitalisasi mampu meningkatkan keuntungan ekonomis. Adhiet menunjukkan bahwa pemodelan yang dilakukan Accenture mengenai digitalisasi di tambang mampu menghasilkan value sekitar 190 miliar dolar AS.
Bahasan terkait COVID-19 pun tidak lepas dari pembicaraan. Sahrul berpendapat bahwa COVID-10 mengakselerasi teknologi pertambangan. Dalam contoh ketika COVID-19 baru memasuki Indonesia, banyak pekerjaan dilakukan dari rumah, termasuk itu untuk kegiatan pelatihan sebagai kebutuhan penting untuk pekerja tambang. Sehingga ia melihat bahwa pelatihan dapat dilakukan secara virtual dengan bantuan video reality, augmented reality, simulasi, dll. Bambang juga menambahkan bahwa aktivitas yang sedang berjalan di era pandemi ini akan menjadi kebiasaan di era normal baru.
Penerapan teknologi di tambang pun tidak lepas tentunya kekhawatiran mengenai perubahan tenaga kerja. Bambang menerangkan bahwa sekalipun teknologi mampu mengurangi tenaga kerja di level supervisor, tenaga kerja operasional tidak akan berdampak signifikan kecuali jika peralatan juga berkurang atau diterapkan robotisasi. Sedangkan Adit menambahkan bahwa digitalisasi akan menggeser tenaga kerja ke skilled work serta dituntut untuk lebih melek teknologi. Ia pun melihat potensi lapangan kerja baru terutama dalam bidang IT serta potensi pengembangan bisnis lain sehingga digitalisasi dianggap menyerap banyak tenaga kerja.
Mengenai prospek tambang sebagai industri hi-tech, Sahrul optimis bahwa tambang sedang dan akan memasuki ranah hi-tech. Menurut beliau, transisi tambang menuju hi-tech industry adalah keharusan dan harus dipikirkan dari sekarang. “Tinggal ke mindset kita (sebagai pelaku industri” ujar Sahrul.
Berbicara mengenai research and development (R&D) terkait digitalisasi tambang, Adhiet berpandangan bahwa R&D mutlak diperlukan karena bertujuan mulai dari produksi, harga, hingga tanggung jawab lingkungan. Sahrul melihat bahwa R&D telah dilakukan provider seperti Micromine. Sedangkan perusahaan tambang ada yang sudah mulai mengembangkan R&D secara mandiri, tetapi ada juga yang masih mengandalkan provider. “Kuncinya ada di kemauan” tambah Sahrul.
Di penghujung acara, Bambang mengatakan bahwa teknologi tambang masih perlu R&D dan penyesuaian dengan kebutuhan di Indonesia. Beliau merasa bahwa teknologi se canggih apapun, jia tidak sesuai dengan kebutuhan di Indonesia, akan berakhir inefektif. Pun dalam R&D yang tepat guna butuh kolaborasi antara akademisi dan praktisi dari awal. Sementara Adhiet menekankan mengenai tambang berkelanjutan, tanggung jawab terhadap masyarakat & lingkungan, serta manfaat ke industry hilir merupakan tujuan yang harus dicapai dalam digitalisasi tambang. Menguatkan pendapat Bambang, Adhiet mengatakan bahwa pendekatan teknologi harus berangkat dari kebutuhan. Dimulai dari identifikasi masalah di tambang, sehingga solusi melalui teknologi dapat dipecahkan bersama-sama termasuk khalayak umum bisa berpartisipasi.
Penulis : Muhammad Dzaky Irfansyah
Editor : Faris Primayudha
Sumber: duniatambang.co.id
Narasumber yang mengisi acara ini berasal dari berbagai kalangan dalam pertambangan. Narasuber tersebut terdiri dari Sahrul Hidayat selaku Regional Manager dari Micromine selaku technology provider; Bambang Tjahjono selaku Executive Director Asosiasi Jasa Pertambangan Indonesia (ASPINDO), yang bergerak di jasa pertambangan; dan Adhietya Saputra selaku VP Technical R&D Group di Mining and Minerals Industry Institute (MIND ID), holding industri pertambangan Indonesia. Selain narasumber, acara ini juga menghadirkan Dr Eng Stephanie Saing selaku General Manager PT Quantus Consultants Indonesia sebagai moderator.
Acara ini membawa perspektif narasumber mengenai teknologi dan tambang ke muka publik. Sahrul menjelaskan bahwa implementasi teknologi yang meluas di pertambangan dimulai dari tahun 2012, ketika pertambangan sudah memikirkan efisiensi biaya dan K3 (keselamatan dan kesehatan kerja) sebagai isu utama, berbarengan dengan kesadaran perusahaan untuk mengadopsi teknologi demi mengatasi isu tersebut. Menurut beliau, transformasi digital menjadi keharusan di tambang dalam menghadapi pertambangan yang semakin kompleks. “Selanjutnya adalah mengubah pola pikir penambang dalam memasukkan teknologi” ujar Sahrul.
Bambang melihat bahwa penerapan teknologi yang tepat guna di luar negeri tentu berbeda dengan definisi tepat guna untuk Indonesia. Di beberapa negara seperti Australia, pertambangan umumnya beralih ke peralatan kapasitas tinggi untuk menghemat labor cost. Sementara di Indonesia, masalah terbesar ada di crowdedness operasi yang mempengaruhi produksi bahkan keamanan. Sehingga Indonesia membutuhkan teknologi yang bisa meningkatkan efisiensi dalam produksi, waktu, hingga K3, seperti adopsi perangkat lunak dan manajemen big data untuk analisis prediktif.
Berbicara mengenai teknologi digital di tambang, Adhiet memandang bahwa penerapan teknologi sejatinya untuk transisi menuju tambang berkelanjutan sekaligus berdampak negatif seminimal mungkin. Dalam meraih tujuan tersebut, Adhiet menjabarkan tujuh tantangan. Ketujuh poin tersebut terdiri dari deposit tambang yang berkurang, pengurangan tenaga kerja, adaptasi big data & internet of things (IoT), keamanan siber, transparansi dalam praktis pertambangan yang etis, komitmen terhadap energi terbarukan, dan peralihan ke circular economy untuk memanfaatkan sisa tambang. “Jika tantangan tersebut dapat diatasi, maka tujuan dari tambang berkelanjutan akan terwujud” ujar Adhiet.
Ketika membahas penerapan teknologi digital dalam mengatasi masalah sosial lingkungan, Sahrul memberikan contoh penerapan sensor dalam kegiatan penutupan lahan hingga reklamasi dianggap sesuai mengingat penerapan serta tanggung jawab yang besar. Adhiet menambahkan bahwa adopsi teknologi untuk peningkatan efisiensi dan produktifitas juga mampu mereduksi emisi karbon, terutama mengingat bahwa industri tambang menyumbang emisi berjumlah besar sehingga digitalisasi perlu ditingkatkan.
Dalam membahas implementasi big data di pertambangan, Bambang menunjukkan banyak aspek yang dapat diimplementasikan dengan memberikan contoh dalam perbaikan infrastruktur tambang, pemeliharaan mesin secara rutin dengan memprediksi ketahanan alat sehingga mampu disesuaikan dengan jadwal operasi, serta konsumsi bahan bakar yang boros dan mahal dengan menginvestigasi penyebabnya. Adhiet pun menambahkan perilaku pekerja dalam operasional tambang dapat diprediksi dengan big data seperti mengawasi konsentrasi dalam mengemudikan dump truck.
Kemudian dalam diskusi mengenai dampak implementasi teknologi terhadap dinamika harga komoditas tambang, Bambang menngingatkan bahwa teknologi tidak serta merta mendikte harga bahan tambang.
“Jangan berharap banyak untuk mendapatkan harga tinggi dengan teknologi semata karena harga tambang dikendalikan oleh banyak faktor dan cukup kompleks” ujar Bambang.
Sedangkan Adhiet mengatakan bahwa digitalisasi mampu meningkatkan keuntungan ekonomis. Adhiet menunjukkan bahwa pemodelan yang dilakukan Accenture mengenai digitalisasi di tambang mampu menghasilkan value sekitar 190 miliar dolar AS.
Bahasan terkait COVID-19 pun tidak lepas dari pembicaraan. Sahrul berpendapat bahwa COVID-10 mengakselerasi teknologi pertambangan. Dalam contoh ketika COVID-19 baru memasuki Indonesia, banyak pekerjaan dilakukan dari rumah, termasuk itu untuk kegiatan pelatihan sebagai kebutuhan penting untuk pekerja tambang. Sehingga ia melihat bahwa pelatihan dapat dilakukan secara virtual dengan bantuan video reality, augmented reality, simulasi, dll. Bambang juga menambahkan bahwa aktivitas yang sedang berjalan di era pandemi ini akan menjadi kebiasaan di era normal baru.
Penerapan teknologi di tambang pun tidak lepas tentunya kekhawatiran mengenai perubahan tenaga kerja. Bambang menerangkan bahwa sekalipun teknologi mampu mengurangi tenaga kerja di level supervisor, tenaga kerja operasional tidak akan berdampak signifikan kecuali jika peralatan juga berkurang atau diterapkan robotisasi. Sedangkan Adit menambahkan bahwa digitalisasi akan menggeser tenaga kerja ke skilled work serta dituntut untuk lebih melek teknologi. Ia pun melihat potensi lapangan kerja baru terutama dalam bidang IT serta potensi pengembangan bisnis lain sehingga digitalisasi dianggap menyerap banyak tenaga kerja.
Mengenai prospek tambang sebagai industri hi-tech, Sahrul optimis bahwa tambang sedang dan akan memasuki ranah hi-tech. Menurut beliau, transisi tambang menuju hi-tech industry adalah keharusan dan harus dipikirkan dari sekarang. “Tinggal ke mindset kita (sebagai pelaku industri” ujar Sahrul.
Berbicara mengenai research and development (R&D) terkait digitalisasi tambang, Adhiet berpandangan bahwa R&D mutlak diperlukan karena bertujuan mulai dari produksi, harga, hingga tanggung jawab lingkungan. Sahrul melihat bahwa R&D telah dilakukan provider seperti Micromine. Sedangkan perusahaan tambang ada yang sudah mulai mengembangkan R&D secara mandiri, tetapi ada juga yang masih mengandalkan provider. “Kuncinya ada di kemauan” tambah Sahrul.
Di penghujung acara, Bambang mengatakan bahwa teknologi tambang masih perlu R&D dan penyesuaian dengan kebutuhan di Indonesia. Beliau merasa bahwa teknologi se canggih apapun, jia tidak sesuai dengan kebutuhan di Indonesia, akan berakhir inefektif. Pun dalam R&D yang tepat guna butuh kolaborasi antara akademisi dan praktisi dari awal. Sementara Adhiet menekankan mengenai tambang berkelanjutan, tanggung jawab terhadap masyarakat & lingkungan, serta manfaat ke industry hilir merupakan tujuan yang harus dicapai dalam digitalisasi tambang. Menguatkan pendapat Bambang, Adhiet mengatakan bahwa pendekatan teknologi harus berangkat dari kebutuhan. Dimulai dari identifikasi masalah di tambang, sehingga solusi melalui teknologi dapat dipecahkan bersama-sama termasuk khalayak umum bisa berpartisipasi.
Penulis : Muhammad Dzaky Irfansyah
Editor : Faris Primayudha
Sumber: duniatambang.co.id