NUSANTARAEXPRESS, LABUHANBATU - Unit Perempuan Perlindungan Anak (PPA ) Polres labuhanbatu di bawah pimpinan Kanit PPA IPDA Rosdiana Br.Sembiring terkesan lambat menangani kasus anak yang terjadi di labuhanbatu, ini terlihat dari laporan atas nama TWD pada tanggal 15/12/2019 lalu yang menimpa putranya berinisial MAT salah satu siswa Di salah satu SMP di rantau Prapat.
Sejak laporan tersebut berada di polres pada tanggal 15 Desember lalu, hingga berita ini di layangkan 25/1/ 2020 belum ada kepastian hukum bagi terlapor, ini menimbulkan tanda tanya besar bagi para pemerhati anak labuhanbatu terlebih bagi kuasa hukum korban.
Dari proses perjalanan kasus tersebut kuasa hukum korban Halomoan Panjaitan SH menilai ada situasi yang dramatis dalam kasus ini terkait perkara a quo dikategorikan Penyidik sebagai Perkara Sulit, dimana tertuang dalam SP2HP no B/1607/XII/ Res.1.24/2019 tersebut bertentangan dengan Perkap no 14 tahun 2012 Pasal 18 poin ke 3 yang sudah jelas mengatur tentang kategori perkara sulit, maka perkara ini seharusnya dikategorikan sebagai perkara biasa berhubung telah ada 6 saksi yang memergoki anak Korban berada dalam penguasaan Terlapor didalam rumah Terlapor dan telah ada pengakuan anak korban atas perbuatan (cabul) yang dialaminya.
Sedangkan tentang dugaan pidana penculikan anak telah memenuhi kriteria sebagaimana pasal 330 KUHP, ucap Lomo,
"Selain itu kita juga menilai Ada yang aneh dalam penanganan kasus ini, selain terkesan diperlambat, penempatan perkara juga menjadi pertanyaan saya, yang mana kepolisian lebih dominan menempatkan kepada kekerasan seksual yang mengarah pada pasal 76 D itu kekerasan untuk melakukan atau membiarkan perbuatan persetubuan dengan anak dibawah umur, sesuai kronologi kejadian bahwa terduga pelaku melakukan bujuk rayu kepada anak korban yaitu dibujuk dengan modus diberikan pulsa kemudian dijanjikan beli baju baru diajak makan dan seterusnya yang mana berdasarkan rangkaian kronologi peristiwa menurut pendapat hukum kami itu lebih menitik beratkan kepada perbuatan pidana cabul sesuai Pasal 76 E, ujar Halomoan.
Pendapat hukum yang disampaikan Lomo tersebut senada dengan komentar-komentar R.Soesilo dalam bukunya KUHP yang diterbitkan Politeia di bogor pada tahun 1991 menyebut, “Yang dimaksudkan dengan “perbuatan cabul” ialah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya: cium-ciuman, maraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada dsb.”
Menurutnya juga " berdasarkan kronologis pelaku seharusnya dikenakan undang undang perlindungan anak
Sesuai pasal 76 E dan pasal 82 undang -undang no 35 tahun 2014 sebagaimana perubahan atas undang- undang No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak yang berbunyi " setiap orang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan,memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana paling lama Lima belas tahun, dan paling sedikit lima tahun dan denda paling banyak lima milyar rupiah. Bukan pasal 81.sebutnya.
Hal senada juga di sampaikan ibu korban TWD kepada awak media ketika di temui di tempat tinggalnya, " Lambat kali pun bang penangananya, udah satu bulan lebih nggak kelar. Saya berharap pihak kepolisian cepat memproses kasus ini, dan pelaku secepatnya ditangkap agar tidak ada lagi korban lain selain anak saya.dan saya menduga selain anak saya ada korban lain yang menjadi korban bejat pelaku.cetus sang ibu dengan nada sedih.
Sementara itu Kanit PPA polres labuhanbatu IPDA Rostina Br.Sembiring SH. Melalui pesan WA nya menyatakan "Sa'at ini kasus tersebut sampai ke tahap lidik, dan akan di gelar untuk menentukan penyidikan. (Rahmad)
Sejak laporan tersebut berada di polres pada tanggal 15 Desember lalu, hingga berita ini di layangkan 25/1/ 2020 belum ada kepastian hukum bagi terlapor, ini menimbulkan tanda tanya besar bagi para pemerhati anak labuhanbatu terlebih bagi kuasa hukum korban.
Dari proses perjalanan kasus tersebut kuasa hukum korban Halomoan Panjaitan SH menilai ada situasi yang dramatis dalam kasus ini terkait perkara a quo dikategorikan Penyidik sebagai Perkara Sulit, dimana tertuang dalam SP2HP no B/1607/XII/ Res.1.24/2019 tersebut bertentangan dengan Perkap no 14 tahun 2012 Pasal 18 poin ke 3 yang sudah jelas mengatur tentang kategori perkara sulit, maka perkara ini seharusnya dikategorikan sebagai perkara biasa berhubung telah ada 6 saksi yang memergoki anak Korban berada dalam penguasaan Terlapor didalam rumah Terlapor dan telah ada pengakuan anak korban atas perbuatan (cabul) yang dialaminya.
Sedangkan tentang dugaan pidana penculikan anak telah memenuhi kriteria sebagaimana pasal 330 KUHP, ucap Lomo,
"Selain itu kita juga menilai Ada yang aneh dalam penanganan kasus ini, selain terkesan diperlambat, penempatan perkara juga menjadi pertanyaan saya, yang mana kepolisian lebih dominan menempatkan kepada kekerasan seksual yang mengarah pada pasal 76 D itu kekerasan untuk melakukan atau membiarkan perbuatan persetubuan dengan anak dibawah umur, sesuai kronologi kejadian bahwa terduga pelaku melakukan bujuk rayu kepada anak korban yaitu dibujuk dengan modus diberikan pulsa kemudian dijanjikan beli baju baru diajak makan dan seterusnya yang mana berdasarkan rangkaian kronologi peristiwa menurut pendapat hukum kami itu lebih menitik beratkan kepada perbuatan pidana cabul sesuai Pasal 76 E, ujar Halomoan.
Pendapat hukum yang disampaikan Lomo tersebut senada dengan komentar-komentar R.Soesilo dalam bukunya KUHP yang diterbitkan Politeia di bogor pada tahun 1991 menyebut, “Yang dimaksudkan dengan “perbuatan cabul” ialah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya: cium-ciuman, maraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada dsb.”
Menurutnya juga " berdasarkan kronologis pelaku seharusnya dikenakan undang undang perlindungan anak
Sesuai pasal 76 E dan pasal 82 undang -undang no 35 tahun 2014 sebagaimana perubahan atas undang- undang No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak yang berbunyi " setiap orang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan,memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana paling lama Lima belas tahun, dan paling sedikit lima tahun dan denda paling banyak lima milyar rupiah. Bukan pasal 81.sebutnya.
Hal senada juga di sampaikan ibu korban TWD kepada awak media ketika di temui di tempat tinggalnya, " Lambat kali pun bang penangananya, udah satu bulan lebih nggak kelar. Saya berharap pihak kepolisian cepat memproses kasus ini, dan pelaku secepatnya ditangkap agar tidak ada lagi korban lain selain anak saya.dan saya menduga selain anak saya ada korban lain yang menjadi korban bejat pelaku.cetus sang ibu dengan nada sedih.
Sementara itu Kanit PPA polres labuhanbatu IPDA Rostina Br.Sembiring SH. Melalui pesan WA nya menyatakan "Sa'at ini kasus tersebut sampai ke tahap lidik, dan akan di gelar untuk menentukan penyidikan. (Rahmad)