NUSANTARAEXPRESS, JAKARTA - Senator DPD RI Asal Aceh, H. Fachrul Razi, MIP menyatakan bahwa Referendum juga diberikan ruang oleh perjanjian damai tersebut jika para pihak tidak dapat memenuhi beberapa kesepakatan.
Fachrul Razi menilai bahwa dalam MoU Helsinki ditegaskan bahwa Para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi sehingga pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam negara kesatuan dan konstitusi Republik Indonesia.
“Artinya substansi perjanjian MoU Helsinki adalah demokrasi dan adil. Dua pondasi ini jika rakyat Aceh tidak merasakan keadilan dan demokrasi, wajar saja seorang mantan panglima GAM Muzakir Manaf sangat kecewa dengan keadaan sekarang,” tegas Fachrul Razi.
https://nusantaraexpress.com/press/2019/05/30/senator-aceh-rakyat-aceh-tuntut-referendum-pemerintah-pusat-diminta-bersikap/
Namun menurutnya penekan dari output Mou Helsinki selain Demokrasi dan Keadilan adalah Kemajuan dan Keberhasilan Aceh pasca perjanjian itu ditandatangani. “Coba kita lihat dalam perjanjian MoU Helsinki bahwa dinyatakan Para pihak sangat yakin bahwa hanya dengan penyelesaian damai atas konflik tersebut yang akan memungkinkan pembangunan kembali Aceh dapat mencapai kemajuan dan keberhasilan, hal tersebut merupakan sebuah kondisi perubahan signifikan yang harus dirasakan di Aceh saat ini,” tegasnya.
Menurutnya pernyataan Muzakir Manaf atau dikenal Mualem menunjukkan begitu kekecewaan seorang Muzakir Manaf terhadap kondisi Aceh saat ini yang merasakan bahwa Aceh jauh dari kemajuan dan keberhasilan.
Disisi lain, kunci perjanjian ini dijelaskan oleh Fachrul Razi adalah “trust building” yaitu membangun kepercayaan. Sebagaimana tertulis dalam MoU Helsinki bahwa “Para pihak yang terlibat dalam konflik bertekad untuk membangun rasa saling percaya.”
“Nah, jika salah satu pihak sudah mengalami kekurangan percayaan (distrust), ini menunjukkan bahwa muncul kekecewaan terhadap proses dan keadaan sekarang,” tegas Fachrul Razi.
“Nah kalau ada yang tanya apakah MoU Helsinki memberikan ruang adanya referendum, silahkan baca poin 6.1.c,” tegas Fachrul Razi memberikan solusi.
Fachrul Razi mengatakan Banyak yang tidak bisa mengartikan poin tersebut, jelas dalam poin tersebut tertulis “Dalam kasus-kasus di mana perselisihan tidak dapat diselesaikan melalui salah satu cara sebagaimana disebutkan di atas, Kepala Misi Monitoring akan melaporkan secara langsung kepada Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Republik Indonesia, pimpinan politik GAM dan Ketua Dewan Direktur Crisis Management Initiative, serta memberitahu Komite Politik dan Keamanan Uni Eropa. Setelah berkonsultasi dengan para pihak, Ketua Dewan Direktur Crisis Management Initiative akan mengambil keputusan yang mengikat para pihak.”
Menurut Fachrul Razi, apabila salah satu pihak merasakan dirugikan, atau mengalami kekecewaan karena adanya perselisihan dalam fase-fase tahun berjalan, para pihak dapat melaporkan dan menuntut solusi secara demokrasi. “Dan perlu saya tegaskan, Referendum merupakan mekanisme demokrasi secara damai sebagai hak konstitusional rakyat Aceh sebagai bagian dari NKRI,” tegasnya.
Dan ini menurut Fachrul Razi, ditegaskan dalam MoU Helsinki poin 2.1. bahwa Pemerintah RI akan mematuhi Kovenan Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dan mengenai Hak- hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. “Ingat, referendum ada dalam konvenan internasional, dan juga dalam UUD 1945 dan UU No 5 tahun 1985 tentang Referendum meskipun sudah dicabut pada tanggal 23 Maret 1999 melalui lahirnya UU No 6 tahun 1999 namun itu hak asasi yang bersifat universal, hati hati!” tegas Fachrul Razi memberikan peringatan.
Intinya menurut Fachrul Razi, MoU Helsinki merupakan solusi demokrasi bagi Aceh secara damai, dengan komitmen bahwa kedua belah pihak yaitu Pemerintah RI dan GAM tidak akan mengambil tindakan yang tidak konsisten dengan rumusan atau semangat Nota Kesepahaman tersebut. “Jika salah satu tidak konsisten, mekanisme demokrasi lain dapat ditempuh,” tutupnya. [RFZ/Red]
Fachrul Razi menilai bahwa dalam MoU Helsinki ditegaskan bahwa Para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi sehingga pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam negara kesatuan dan konstitusi Republik Indonesia.
“Artinya substansi perjanjian MoU Helsinki adalah demokrasi dan adil. Dua pondasi ini jika rakyat Aceh tidak merasakan keadilan dan demokrasi, wajar saja seorang mantan panglima GAM Muzakir Manaf sangat kecewa dengan keadaan sekarang,” tegas Fachrul Razi.
https://nusantaraexpress.com/press/2019/05/30/senator-aceh-rakyat-aceh-tuntut-referendum-pemerintah-pusat-diminta-bersikap/
Namun menurutnya penekan dari output Mou Helsinki selain Demokrasi dan Keadilan adalah Kemajuan dan Keberhasilan Aceh pasca perjanjian itu ditandatangani. “Coba kita lihat dalam perjanjian MoU Helsinki bahwa dinyatakan Para pihak sangat yakin bahwa hanya dengan penyelesaian damai atas konflik tersebut yang akan memungkinkan pembangunan kembali Aceh dapat mencapai kemajuan dan keberhasilan, hal tersebut merupakan sebuah kondisi perubahan signifikan yang harus dirasakan di Aceh saat ini,” tegasnya.
Menurutnya pernyataan Muzakir Manaf atau dikenal Mualem menunjukkan begitu kekecewaan seorang Muzakir Manaf terhadap kondisi Aceh saat ini yang merasakan bahwa Aceh jauh dari kemajuan dan keberhasilan.
Disisi lain, kunci perjanjian ini dijelaskan oleh Fachrul Razi adalah “trust building” yaitu membangun kepercayaan. Sebagaimana tertulis dalam MoU Helsinki bahwa “Para pihak yang terlibat dalam konflik bertekad untuk membangun rasa saling percaya.”
“Nah, jika salah satu pihak sudah mengalami kekurangan percayaan (distrust), ini menunjukkan bahwa muncul kekecewaan terhadap proses dan keadaan sekarang,” tegas Fachrul Razi.
“Nah kalau ada yang tanya apakah MoU Helsinki memberikan ruang adanya referendum, silahkan baca poin 6.1.c,” tegas Fachrul Razi memberikan solusi.
Fachrul Razi mengatakan Banyak yang tidak bisa mengartikan poin tersebut, jelas dalam poin tersebut tertulis “Dalam kasus-kasus di mana perselisihan tidak dapat diselesaikan melalui salah satu cara sebagaimana disebutkan di atas, Kepala Misi Monitoring akan melaporkan secara langsung kepada Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Republik Indonesia, pimpinan politik GAM dan Ketua Dewan Direktur Crisis Management Initiative, serta memberitahu Komite Politik dan Keamanan Uni Eropa. Setelah berkonsultasi dengan para pihak, Ketua Dewan Direktur Crisis Management Initiative akan mengambil keputusan yang mengikat para pihak.”
Menurut Fachrul Razi, apabila salah satu pihak merasakan dirugikan, atau mengalami kekecewaan karena adanya perselisihan dalam fase-fase tahun berjalan, para pihak dapat melaporkan dan menuntut solusi secara demokrasi. “Dan perlu saya tegaskan, Referendum merupakan mekanisme demokrasi secara damai sebagai hak konstitusional rakyat Aceh sebagai bagian dari NKRI,” tegasnya.
Dan ini menurut Fachrul Razi, ditegaskan dalam MoU Helsinki poin 2.1. bahwa Pemerintah RI akan mematuhi Kovenan Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dan mengenai Hak- hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. “Ingat, referendum ada dalam konvenan internasional, dan juga dalam UUD 1945 dan UU No 5 tahun 1985 tentang Referendum meskipun sudah dicabut pada tanggal 23 Maret 1999 melalui lahirnya UU No 6 tahun 1999 namun itu hak asasi yang bersifat universal, hati hati!” tegas Fachrul Razi memberikan peringatan.
Intinya menurut Fachrul Razi, MoU Helsinki merupakan solusi demokrasi bagi Aceh secara damai, dengan komitmen bahwa kedua belah pihak yaitu Pemerintah RI dan GAM tidak akan mengambil tindakan yang tidak konsisten dengan rumusan atau semangat Nota Kesepahaman tersebut. “Jika salah satu tidak konsisten, mekanisme demokrasi lain dapat ditempuh,” tutupnya. [RFZ/Red]