KALI INI AKU BIKIN PUISI
Print Friendly and PDF
-->

CETAK BERITA

Print Friendly and PDF

Translate

KALI INI AKU BIKIN PUISI

Minggu, 13 April 2025,


 

Oleh Agung Marsudi

AKU hanya berani bertanya pada Pak Prabowo dalam hati, "Pak, ajari aku bagaimana membaca puisi ambisi yang patriotik!"

Pak Jokowi ajari aku bagaimana blusukan bisa membuat orang-orang begitu jatuh cinta padamu, "Benarkah tuduhan ijasah palsu itu?"

Bu Mega, Pak SBY, ajari aku bagaimana tidak bicara lebih dari tiga hari itu, menyesakkan dada. Bukan teladan baik bagi anak-anak bangsa.

Jika jalan kebangsaan adalah pilihan. Bukankah billout kepada rakyat itu subsidi, "bukan BLBI atau Century?"

Katanya, setiap masa ada presidennya, setiap presiden ada masanya. Kenapa urusan sejengkal perut rakyat tak pernah selesai. "Siapapun presidennya".

Kenapa urusan sesuap nasi, setiap hari rakyat harus dijejali pidato demokrasi. Dalam UUD 1945 asli, para pendiri bangsa tak pernah menyebut satupun kata "demokrasi".

Demokrasi itu pamali di negeri ini. Bukan jati diri.

Kali ini aku bikin puisi. Sebutlah puisi esai seperti milik Denny. Tapi gak perlu catatan kaki.

Cerita mbah dulu, kalau disensus. Ditanya, mbah umurnya berapa? Dengan enteng mbah jawab, "Waktu Nippon datang, mbah sudah disunat". Nikah dengan mbah putri kapan? Mbah jawab, "Sehari setelah gestapu". Mbah agamanya apa? Lalu Mbah jawab sambil "ngudut", ya sama dengan orang-orang itu. Iya, mbah agamanya apa? Agamanya ya "petani".

PNS yang tukang sensus itu malah tertawa. Tapi Mbah Kakung, hanya diam. Tetap "ngudut" Seperti tak merasa salah. Sebab Mbah bilang, "kalau petani bukan agama, tunggu kehancuran suatu negeri".

Kaya padi impor beras
Kaya laut impor garam

Itulah jawaban, kenapa urusan sejengkal perut rakyat tak pernah selesai. "Siapapun presidennya".

Kali ini aku bikin puisi, sebaris saja. Seperti puisi Omi Intan Naomi. Tumbangkan Tugu Tani, "kalau presiden berani!"

Tak ada petani, roboh negeri ini.


Yogya, 13 April 2025

TerPopuler