Oleh Agung Marsudi
"Mencintai laut, tak mungkin menolak ombaknya"
SETIAP pileg, pilkada, pilpres, rakyat seperti dipaksa undang-undang untuk menyukai ombak, demokrasi seperti buih yang indah, janji-janji kampanye laksana hamparan mutiara, lembut membelai. Tetapi ketika gelombang ombak menjadi ganas, rakyat tak boleh takut, rakyat harus berani, bukankah Jokowi produk pilihan rakyat sendiri.
Akui saja, demokrasi di Indonesia telah melahirkan seorang Jokowi.
Tentu bagi para loyalis, relawan tegak lurus, para buzzer, makin dibayar, makin berselancar, bahkan siaga menaklukkan setiap ombak keras dari lawan-lawan politiknya.
Itulah kenapa, dalam demokrasi “Rakyat tidak hanya dirancang untuk menahan rasa sakit, tapi dirancang untuk menahan penderitaan lima tahunan.”
Kata Dwi Ana, sahabat saya, "produk demokrasi judi". Kata saya, "produk demokrasi zombi". Praktik Trilogi Nasakong (Nasionalis, Agama, Cukong). Ngomong gotong royong, tapi bersekutu dengan cukong. Sein kanan, belok kiri. Ke kanan Amerika, ke kiri Cina. Gayanya yang demokrasi, baju ideologinya kiri.
Kopinya asli Indonesiano, tapi minumnya Americano. Tapi begitu mau diterjang perang dagang, diplomasi politiknya berubah jadi "Kopitalisme".
Padahal posisi strategis Indonesia tetap berada di tengah. Cina, Indonesia, Amerika, disingkat C.I.A.
Jokowi adalah anomali demokrasi gaya pribumi. Blusukan dirancang sebagai citra, populisme dan heroisme. Kepalsuan dirancang seperti sebuah kebenaran. Akhirnya, asli dan palsu hanya soal waktu.
Demokrasi itu kehadirannya jauh-jauh hari sudah ditegur para pendiri bangsa, "Jangan pernah membawa "madu", ke rumah sendiri".
Selamat tinggal, "Hidup Jokowi!". Selamat tinggal yang ngaku ksatria, heroik, dan patriotik. Pernyataan sikap para purnawirawan prajurit TNI, yang menginginkan negara dan bangsa ini kembali ke UUD 1945 asli, bukan yang palsu, menemukan jawabannya.
"Pelihara TNI, pelihara angkatan perang kita, jangan sampai TNI dikuasai oleh partai politik manapun juga," begitu pesan Jenderal Besar Soedirman
Solo, 27 April 2025