BISA, TAPI TIDAK "BERBISA"
Print Friendly and PDF
-->

CETAK BERITA

Print Friendly and PDF

Translate

BISA, TAPI TIDAK "BERBISA"

Jumat, 11 April 2025,

 




Oleh Agung Marsudi

PASCA amandemen UUD 1945 (1999-2002) kedudukan antar lembaga negara menjadi "bahu setentang", sehingga masing-masing memiliki peluang untuk "menang" dan punya senjata untuk saling "menyandera". Tidak ada lembaga yang lebih tertinggi.

Meski semua tahu di tangan presiden seluruh kebijakan negara "bisa" diputuskan. Tapi fakta obyektifnya, relasi kuasa setara antara legislatif, yudikatif dan eksekutif, menyebabkan kedaulatan rakyat hanya seremoni di konstitusi.

Presiden bisa. Tapi apakah "berbisa"?

Semua masih sepakat politik itu urusan ketatanegaraan, demokrasi hanya alat. Semua juga masih sepakat NKRI itu singkatan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, bukan Negara Kesatuan "Relawan" Indonesia.

Indonesia hari ini, butuh presiden yang heroik, yang timbul tenggelam bersama rakyat. Presiden yang pro rakyat, berarti presiden yang mengemban amanat rakyat sebagai kehormatan. Kedaulatan rakyat adalah segalanya.

Melupakan Ampera, amanat penderitaan rakyat berarti mengkhianati cita-cita luhur para pendiri bangsa.

UUD 1945 asli itulah haluan bangsa dan negara. Sedang UUD hasil amandemen 1999-2002 adalah produk gerakan demokratisasi mondial yang diprakarsai National Democratic Institute (NDI), Amerika, yang menggalang bersatunya kekuatan sipil bernama Koalisi Ornop untuk Konstitusi Baru. Ingat, ada istilah "Konstitusi Baru". Sesungguhnya proses amandemen adalah nyata upaya kudeta konstitusi.

Jika dihitung dari 1999, amandemen UUD 1945 itu telah berusia 25 tahun. Bukti bahwa reformasi gagal menemukan jati diri bangsanya sendiri. Sejarah berbalik arah. Sebab tujuan berbangsa dan bernegara, telah seperempat abad dibelokkan.

Ketika gerakan reformasi menurunkan Presiden Soeharto dengan alasan berkuasa terlalu lama, sehingga menyuburkan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN), faktanya hari ini mereka yang mengaku reformis justru terlibat dan menjadi motor penggerak Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, gaya baru. Haus posisi, mabuk korupsi.

Meski alas, gerakan reformasi berdalih mau membuat Indonesia lebih baik, ternyata keadaan Indonesia makin memburuk. Menggelar pilkada dan pilpres langsung dengan alasan agar lebih demokratis, ternyata hanya alat mendudukkan para kader partai politik menjadi pejabat koruptif untuk mengatur sirkuit pemerintahan.

Menguasai BUMN dengan alasan privatisasi, ternyata BUMN menjadi kendaraan untuk mengumpulkan pundi-pundi dan mengambil uang negara.

Reformasi telah 25 tahun membuat rakyat Indonesia kehilangan kedaulatan, harga diri, jiwa, bahkan martabat bangsa.

Jika presiden bisa, tapi tak "berbisa". Haruskah rakyat turun ke jalan, untuk merebut kembali "jalan kebangsaan", kedaulatan yang telah disalahgunakan.

Naga memang "berbisa" tapi kita punya Garuda yang digdaya, bisa terbang jauh ke angkasa.


Solo, 10 April 2025

TerPopuler