Agung Marsudi
Duri Institute
LANGIT kota Duri masih berawan, ketika Pak Siregar, seorang penggiat alam yang sudah berpuluh tahun bergelut dengan fauna, cerita banyak hal tentang gajah Sumatera, salah satu fauna yang mulai langka di Indonesia.
Tiba-tiba dia bertanya, "Masih ingat dongeng kancil mencuri timun?" Saya hanya menjawab dengan anggukan, sambil menikmati segelas kopi Suliki seduhan istrinya. Saya tak tahu arah pertanyaannya kemana.
"Memasuki dunia politik, seperti menembus hutan tropis Sumatera dengan beragam flora dan fauna. Belajar keseimbangan hukum rimba," jelasnya.
Yang kuat belum tentu menang, yang lemah belum tentu kalah.
"Ketaatan para penghuni hutan adalah kepada alam. Meski tak ada pemilihan, tak ada perselisihan, kenapa Singa dinobatkan menjadi 'Si Raja Hutan'. Semua berjalan, mengikuti suksesi alam," ujar Pak Regar.
Saya tetap mendengar dengan sabar, sambil membayangkan kembali dua kandidat Bupati dan wakil bupati Bengkalis ketika berdebat di layar. Ada ingatan kolektif tentang kepiawaian pasangan SANDI menguasai panggung. Podium politik lokal yang menantang.
Sementara dari kejauhan, terdengar lagu yang membuat pinggul "bergoyang" menghibur banteng yang sedang ketakutan di kandang. Padahal ditemani 10 hewan khas hutan tropis Sumatera (mixed tropical hardwood).
Dangdutan dan sholawatan, seperti langit dan bumi. Seperti pesta dan doa. Seperti api dan air, potret kampanye terakhir.
Pilkada di era post truth memang membuat kita harus melawan, hegemoni fauna medsos, mana suka siaran niaga.
25 November 2024