Oleh Agung Marsudi
DURI INSTITUTE
MENAMBATKAN hubungan emosional, ke ranah mesin elektoral, memang tidak mudah. Tetapi bukan tidak mungkin, sebab merebut hati rakyat, hanya bisa dilakukan dengan ketulusan. Jujur, tulus, ikhlas, tiga kata kualitatif yang faktanya, sulit diangkakan.
Salah satu mesin elektoral itu adalah ketika merekrut saksi. Kebutuhan akan saksi, terutama ketika Pilkada, tak bisa disederhanakan, semudah orang yang butuh pekerjaan harian. Sehari bekerja, dapat honor 300 ribu. Ini bukan soal kerja harian, atau loker karbitan. Ini soal hubungan emosional yang dikaitkan dengan mesin pemenangan.
Menganggap saksi sebagai subyek yang butuh uang, lalu mudah menerima tawaran kerja sehari di TPS dengan upah 300 ribu, sama artinya menghargai politik dengan harga rendah.
Sesuatu yang datang dari hati, akan kembali ke hati. Menjadi saksi itu mesin hati, sekaligus mesin demokrasi. Proses politik perlu didengar, dilihat, dicatat. Disaksikan, dengan sebuah kesaksian. Sebuah keberanian.
Menjadi saksi itu panggilan hati. Level keberanian yang tak bisa ditawar. Ia butuh hubungan emosional, bukan sekedar urusan instruksional.
Ini soal persebatian. Dan pilihan. Keputusan mau menjadi saksi; diikuti semangat, "Kalau berani jangan takut-takut. Kalau takut jangan berani-berani". Sebab di sekelilingnya mengintai intimidasi.
Saksi adalah ujung tombak kemenangan. Di penanya, pesta demokrasi berarti, dicatat dengan harga diri.
Siapapun, pasangan calon bupati atau gubernur, yang mengabaikan peran strategis saksi akan ditinggalkan pemilihnya.
Keringat saksi, adalah demokrasi itu sendiri.
20 November 2024