Oleh Agung Marsudi
DURI INSTITUTE
"HEALING" telah menjadi obat, terutama bagi mereka yang memiliki kesibukan luar biasa padat. Untuk membebaskan sebagian dari kepenatan dan beban hidup, "healing" solusinya.
Apalagi kini, di tengah asupan politik pilkada dengan segala pernak-pernik intimidasi, berbagai intervensi kegiatan dilakukan dari kelas atas hingga kelas bawah. Dari eselon hingga RT/RW. Orang diajak berinteraksi politik, tapi di saat bersamaan dijejali doktrinasi, demi ambisi dan oligarki. Dibumbui janji-janji.
Jika sebelumnya kata ‘healing’ populer, terutama pasca gempa, tsunami dan pandemi, dalam konteks "penyembuhan luka batin" yang dilakukan secara sosial, kini mulai melebar ke wilayah "trauma politik".
Politik rekayasa, bukan seperti apa adanya, menumbuhkan patologi sosial baru, suka tidak suka, benci rindu, yang pada gilirannya menumpuk agregat rasa menang senang, kalah gelisah.
Demokrasi dengan "kalah menang" sebagai tujuan (goals) memuluskan jalan, menghalalkan semua cara demi meraih kemenangan. Dari sini, benih "trauma" itu mulai bertunas, dan tumbuh.
"Tekan kiri kanan, alasan demi negeri junjungan, padahal semua tahu, apa yang mereka mau".
Dalam konteks Pilkada Bengkalis 2024, dengan hanya dua calon pasangan yang maju, memiliki andil memperlebar terjadinya "gap" sosial di tengah-tengah masyarakat. Kelompok berduit, berhadap-hadapan dengan kelompok modal spirit.
Di masyarakat mulai terlihat, memilih pasangan Syahrial-Andika (SANDI) menjadi semacam "healing" juga. Cara masyarakat untuk membebaskan demokrasi, dari kecamuk politik dinasti, dan tekanan intimidasi, yang telah melahirkan "trauma" itu. Sebab ini soal pilihan, yang dampaknya panjang.
Kelompok suka dan kecewa, barisan sakit hati dan sukarela, sebentar lagi bertemu di kotak suara.
21 November 2024