Membaca Tempo, Menikmati Tempe, Menunggu Hujan di Teras Depan
Oleh Agung Marsudi
MATAHARI terik, tanah-tanah sawah petani merekah, hawa panas merambat menyengat. Di jalanan, es teh jumbo laris manis.
Di bumi Sukowati, sore ini hujan turun, deras sekali, disertai petir dan angin kencang. Pohon-pohon, dan baliho politik pun bertumbangan.
Beberapa hari yang lalu di desa-desa banyak warga yang sudah sholat minta hujan. Orang-orang kota, seenaknya bilang, "Akhirnya hujan juga".
Doa-doa warga terkabul, tak terpengaruh ramalan cuaca.
Bisa menikmati setiap tetes air hujan adalah berkah yang tiada tara. Sambil membaca Tempo, edisi "Timang-Timang Dinastiku Sayang", Moelyati (72) ibuku menyiapkan tempe mendoan di teras depan. Di tengah hiruk pikuk politik yang terus berdengung, membaca Tempo, menikmati tempe, adalah kelezatan tersendiri.
Soal MK, MKMK, PDIP, Megawati, Jokowi, Cawe-Cawe, Gibran, Hak Angket, IKN, Pemakzulan dan lain-lain, semoga dapat diselenggarakan dengan cara seksama, dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Itulah politik. Kalau tak gaduh, tak asik. Puja-puji, benci-rindu, tak punya malu. Sindiran Gus Mus di Taman Budaya Solo (31/10), "Ada sirup rasa jeruk dan durian, ada keripik rasa keju dan ikan. Ada republik rasa kerajaan".
2024 sudah dekat. Santapan "rojo koyo" di meja makan istana, presiden dan para calon presiden sudah berlalu, karenanya, "Makan politik itu enak dan perlu!"
Jokowi, Ganjar, Prabowo, Anies telah menikmati kelezatan makan bersama di istana. Petuah nenek moyang, pemimpin yang baik itu, bagai orang tua yang mendahulukan anaknya untuk makan sebelum dirinya makan.
Seorang pemimpin yang baik itu bersedia makan terakhir
Sragen, 3 November 2023