SISTEM YANG BAIK ADALAH SOUNDSYSTEM
Oleh Agung Marsudi
DI POJOK bawah sebuah baliho raksasa yang rusak, di pinggiran kota, gerbang masuk bumi Sukowati, Sragen, ada tulisan menarik, "sistem yang baik adalah soundsystem".
Belum selesai mengambil gambar, ada lagi truk besar berhenti di belakang baliho, ada tulisan nyentrik juga, "Di balik istri yang glowing, ada suami yang gulung koming".
Hari ini, saya memang dikejutkan dengan seutas kreativitas jalanan, yang tak butuh kerumitan dan anggaran untuk mengungkapkannya. Yang penting ada ruang, ada kesempatan. Dua kalimat memikat, yang mengingatkan semboyan perjuangan dulu, "Merdeka atau Mati".
Ekspresi, butuh ruang, lalu dituang. Diartikulasikan. Berbeda dengan aspirasi, ia butuh kanal. Beda lagi dengan demokrasi, ia butuh kekuatan dan finansial. Ekspresi yang datang dari hati, seperti seni, bebas dan nembus kemana-mana.
Targetnya "kena".
Meski masyarakat juga mengerti, soundsystem yang baik, tetap dioperasikan oleh manusia. Untuk tampil glowing, dan cling, perlu cring! Semua ada harganya. Dalam konteks bernegara, sistem itu bisa berarti, "deso mowo coro, negoro mowo toto". Sebuah kearifan yang diajarkan oleh para leluhur, turun-temurun. Harga sebuah keseimbangan, manusia, alam dan kehidupan.
Demikian adanya, politik dan Pancasila. Merah, jingga, kuning, biru, indahnya warna. Bendera boleh beda, tapi hati tetap Indonesia.
Hiruk pikuk calon presiden, kasus ijasah palsu, sidang Sambo, adalah permainan kata-kata yang ditarik-tarik kemana. Padahal esensinya sudah jelas, "sopo nandur ngunduh".
Chairil Anwar bilang, "Hidup sekali, berarti, lalu mati".
Solo, 19 Oktober 2022