DARI JENDELA KERETA, MEMBACA INDONESIA
Oleh Agung Marsudi
SEHARI setelah peringatan Hari Kesaktian Pancasila, saya naik kereta api pagi Joglosemarkerto dari Solo Balapan, menuju Kroya, Cilacap. Mengambil dokumen penting.
Entah mengapa pagi ini perut tak bisa diajak kompromi, minta diisi. Saya langsung duduk di gerbong resto, lalu pesan cappucino, aqua prima dan nasi ayam geprek, produk kuliner kereta.
Saya sendirian. Setia dengan buku Puthut EA, "Mengantar Dari Luar". Buku yang seperti bicara sendiri, ketika saya membaca. Ada tumpukan kosa kata api menyala, di depan mata, di sekitar kita.
Sesekali saya buka android, update berita di google, ada warga asing koleksi foto sejarah Indonesia, terkait peristiwa G30S/PKI, ada foto eksekusi Untung di laman berita tersebut.
Saya gak klik dengan petikan kisahnya, tapi lebih tertarik pada keseriusan orang asing yang begitu getol mengoleksi "tentang" Indonesia. Ada Apa Dengan Indonesia (AADI).
Dalam perjalanan kereta api menyusuri bumi nusantara, saya memang sedang belajar mengeja dan terus membaca halaman Indonesia, dari sisi yang berbeda. Eksotika dan keindahannya yang tak terkira sudah banyak diekspose oleh media dan para fotografer sepanjang masa.
Menulis Indonesia dari kereta, tak kalah menariknya. Di bawah jalur kereta itu, ada darah rakyat Indonesia yang dipaksa kerja, kerja paksa. Membangun jalur barang jarahan dan manusia. Sisa-sisa kolonial yang menjajah bumi pertiwi, seperti tak ada habisnya.
Hingga darah dan nyawa rakyat Indonesia harus tumpah. Menjadi tumbal, kolonial.
Dan negeri penjajah itu hingga kini tetap jumawa dengan kesombongan atas nama. Dan para pemimpin kita tak kuasa. Sebab kebenaran sejarah kita pun "digondol" menjadi miliknya.
Sudah sampai dimana kereta api "merdeka", komunisme seperti bara dalam sekam, merayap di sepanjang sejarah kelam kita.
Oh, Indonesia.
Menuju Kroya, 2 Oktober 2022