Koalisi dan Kedurjanaan Politik
Oleh Agung Marsudi
KOALISI tak habis-habis dikaji dan dibedah di beragam diskusi. Ia seperti gerbong kereta api. Seperti kelompok paduan suara. Kadang seperti anak kecil yang manja, minta gula-gula.
Di era kepak sayap oligarki, yang tinggal menyisakan 22 bulan lagi, domino dominasi demokrasi menyimpan gas tekanan tinggi. Boleh jadi isunya pelan-pelan sudah mulai digembosi, dari Senayan atau para "pendengung" bayaran. Hanya untuk uji nyali, adu opini.
Isunya ditata, temanya dijual bebas, skema disusun menyirip.
Soal big data, isu tunda pemilu, dan argumentasi tiga periode, sempat dibiarkan mengalir kencang, ke sana-ke mari. Bahkan membuat retak tembok koalisi. Menjelang suksesi 2024, isu utama terus digulirkan.
Tembok istana, yang masih rapat dijaga para serdadu dan hantu Belanda, tak mampu ditembus, kecuali ada Brutus.
Janji politik dalam konteks sosial, cenderung "lamis" tak ada yang manis. Yang strategis menjadi proyek utama, penguasa-pengusaha. Yang bernilai uang, telah terbagi, sebelum dirancang.
Kedurjanaan politik dikemas sempurna, dalam agenda proyek strategis nasional. Kebijakan, dibuat bijak hanya di istana. Arus polarisasi justru muncul dari sana. Tak ada yang benar-benar punya kekuatan penuh. Dan mengatur irama, rendah tinggi nada. Agenda reformasi ditinggal di jalanan. Tahun 1998-2022 sudah 24 tahun, hasilnya deretan angka kemiskinan.
Di luar partai berkursi, puluhan partai baru, dan baru partai, berebut simpati KPU, berharap Agustus lolos ikut pemilu. Ketegangan baru, bagi nutrisi kekuatan politik baru.
Melawan lupa, Nawacita. Pendengung keasikan berdengung. "Gendang gendut tali kecapi. Kenyang perut, senanglah hati"
Tak jelas, apa yang sedang kita lakukan sebagai bangsa. Fakta objektif, kapitalisme politik mengandung patologi yang membahayakan masa depan umat manusia. Ia kedurjanaan yang diniscayakan, oleh sistem kekuasaan.
Duri, 28 April 2022