NUSANTARAEXPRESS, JAKARTA - Puluhan orang yang tergabung dalam Komite Politik Alternatif mendatangi Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta, meminta semua pihak menghargai orang yang memilih golput pada Pemilu 2019.
Humas Komite Politik Alternatif, Herman Abdurrahman, menyampaikan pihaknya merespons elite politik yang dalam beberapa waktu terakhir mendiskriminasi pemilih golput.
"Jangan ada lagi intimidasi, diskriminasi terhadap gerakan golput. Kita memandang bahwa memilih itu bukan kewajiban, itu adalah hak. Memilih atau tidak memilih adalah hak setiap warga negara," kata Herman saat di tengah aksi di depan Kantor KPU, Jakarta Pusat, Selasa (2/4).
Ia mengatakan diskriminasi itu datang di saat pilihan politik dan sistem politik yang ada tak terbuka seluas-luasnya untuk rakyat. Sistem saat ini disebut hanya menguntungkan sebagian pihak
Herman menyebut upaya-upaya diskriminasi golput hanya dilakukan untuk kepentingan kelompok politik tertentu. Begitu pula ancaman memidana orang golput, seperti yang dilontarkan Menkopolhukam Wiranto.
"Padahal kita tidak menemukan satu aturan di undang-undang bahwa rakyat dilarang untuk tidak memilih. Yang ada di undang-undang hanya orang dilarang menghalang-halangi dengan kekerasan atau menyogok untuk tidak memilih," ujarnya.
Komite juga menuntut revisi undang-undang partai politik dan pemilu. Sebab dua undang-undang itu mempersempit ruang rakyat untuk membentuk partai politik.
Ia menilai syarat seperti ambang batas parlemen dan minimal perwakilan di daerah membuat rakyat sulit membuat kendaraan politik. Sehingga, rakyat hanya bergantung kepada partai-partai yang ada.
Sebelumnya, golput kembali menjadi sorotan publik setelah beberapa elite politik membahasnya. Menkopolhukam Wiranto menyebut pengajak golput sebagai pengacau dan layak dipidana. Bahkan ia menyebut bisa diganjar UU Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Antiterorisme, KUHP, maupun UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Lalu Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri juga menyebut orang golput sebagai pihak yang pengecut.
"Itu artinya tidak punya harga diri, kalau mau golput jangan jadi warga negara Indonesia," kata Megawati dalam Rapat Umum PDI Perjuangan di GOR Pandawa, Jawa Tengah, Minggu (31/3).
Sementara itu, Komisioner KPU Viryan Aziz mengatakan terkait golput itu tak bisa diganjar dengan KUHP, UU ITE, maupun UU Antiterosime.
Ia mengatakan hukum Indonesia memang memandang golput sebagai hak politik, setara dengan memilih. Hak politik warga negara dijamin Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Viryan mengatakan hukum Indonesia hanya mengatur larangan mengajak atau membuat orang lain golput. Bahkan dalam UU Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu dinyatakan mengajak atau membuat orang golput diancam dengan penjara maksimal tiga tahun dan denda Rp36 juta.
"Sehingga lebih baik, dengan cara seperti saat ini saja, yakni mengoptimalkan edukasi kepada masyarakat," ujar Viryan, Rabu (27/3) malam. [dhf/kid]
Sumber: CNNIndonesia.com
Humas Komite Politik Alternatif, Herman Abdurrahman, menyampaikan pihaknya merespons elite politik yang dalam beberapa waktu terakhir mendiskriminasi pemilih golput.
"Jangan ada lagi intimidasi, diskriminasi terhadap gerakan golput. Kita memandang bahwa memilih itu bukan kewajiban, itu adalah hak. Memilih atau tidak memilih adalah hak setiap warga negara," kata Herman saat di tengah aksi di depan Kantor KPU, Jakarta Pusat, Selasa (2/4).
Ia mengatakan diskriminasi itu datang di saat pilihan politik dan sistem politik yang ada tak terbuka seluas-luasnya untuk rakyat. Sistem saat ini disebut hanya menguntungkan sebagian pihak
Herman menyebut upaya-upaya diskriminasi golput hanya dilakukan untuk kepentingan kelompok politik tertentu. Begitu pula ancaman memidana orang golput, seperti yang dilontarkan Menkopolhukam Wiranto.
"Padahal kita tidak menemukan satu aturan di undang-undang bahwa rakyat dilarang untuk tidak memilih. Yang ada di undang-undang hanya orang dilarang menghalang-halangi dengan kekerasan atau menyogok untuk tidak memilih," ujarnya.
Komite juga menuntut revisi undang-undang partai politik dan pemilu. Sebab dua undang-undang itu mempersempit ruang rakyat untuk membentuk partai politik.
Ia menilai syarat seperti ambang batas parlemen dan minimal perwakilan di daerah membuat rakyat sulit membuat kendaraan politik. Sehingga, rakyat hanya bergantung kepada partai-partai yang ada.
Sebelumnya, golput kembali menjadi sorotan publik setelah beberapa elite politik membahasnya. Menkopolhukam Wiranto menyebut pengajak golput sebagai pengacau dan layak dipidana. Bahkan ia menyebut bisa diganjar UU Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Antiterorisme, KUHP, maupun UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Lalu Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri juga menyebut orang golput sebagai pihak yang pengecut.
"Itu artinya tidak punya harga diri, kalau mau golput jangan jadi warga negara Indonesia," kata Megawati dalam Rapat Umum PDI Perjuangan di GOR Pandawa, Jawa Tengah, Minggu (31/3).
Sementara itu, Komisioner KPU Viryan Aziz mengatakan terkait golput itu tak bisa diganjar dengan KUHP, UU ITE, maupun UU Antiterosime.
Ia mengatakan hukum Indonesia memang memandang golput sebagai hak politik, setara dengan memilih. Hak politik warga negara dijamin Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Viryan mengatakan hukum Indonesia hanya mengatur larangan mengajak atau membuat orang lain golput. Bahkan dalam UU Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu dinyatakan mengajak atau membuat orang golput diancam dengan penjara maksimal tiga tahun dan denda Rp36 juta.
"Sehingga lebih baik, dengan cara seperti saat ini saja, yakni mengoptimalkan edukasi kepada masyarakat," ujar Viryan, Rabu (27/3) malam. [dhf/kid]
Sumber: CNNIndonesia.com