Tanah Toraja Dengan Upacara Pemakaman Rambu Solo Yang Unik, Khas Tanah Toraja Sulawesi Selatan
Print Friendly and PDF
-->

CETAK BERITA

Print Friendly and PDF

Translate

Tanah Toraja Dengan Upacara Pemakaman Rambu Solo Yang Unik, Khas Tanah Toraja Sulawesi Selatan

Jumat, 29 Maret 2019,


NUSANTARAEXPRESS, TORAJA - TANA Toraja merupakan salah satu daya tarik wisata paling populer di Provinsi Sulawesi Selatan. Di sini Anda menikmati kebudayaan khas Suku Toraja yang mendiami daerah pegunungan dengan budaya khas Austronesia asli. Cicipilah nuansa lain kebudayaan yang unik dan berbeda, mulai dari rumah adat Tongkonan, upacara pemakaman Rambu Solo, Pekuburan Gua Londa, Pekuburan Batu Lemo, atau Pekuburan Bayi Kambira.

Menurut mitos yang  diceritakan dari generasi ke generasi, nenek moyang asli orang Toraja turun langsung dari surga dengan cara menggunakan tangga, di mana tangga ini berfungsi sebagai media komunikasi dengan Puang Matua (satu-satunya Tuhan).

Nama Toraja pertama kali diberikan oleh Suku Bugis Sidenreng yang menyebut penduduk yang tinggal di daerah ini sebagai "Riaja" (orang yang mendiami daerah pegunungan). Sementara rakyat Luwu menyebut mereka, "Riajang" (orang-orang yang mendiami daerah barat).



Versi lain mengatakan bahwa Toraja dari kata "Toraya" (Tau: orang, dan raya atau maraya: besar), gabungan dua kata ini memberi arti "orang-orang hebat" atau "manusia mulia". Berikutnya istilah yang lebih sering dipakai adalah sebutan Toraja, kata "tana" sendiri berarti daerah. Penduduk dan wilayah Toraja pun akhirnya dikenal dengan Tana Toraja.

Masyarakat Toraja menganut "aluk" atau adat yang merupakan kepercayaan, aturan, dan ritual tradisional ketat yang ditentukan oleh nenek moyangnya. Meskipun saat ini mayoritas masyarakat Toraja banyak yang memeluk agama Protestan atau Katolik tetapi tradisi-tradisi leluhur dan upacara ritual masih terus dipraktikkan.

Masyarakat Toraja membuat pemisahan yang jelas antara upacara dan ritual yang terkait dengan kehidupan dan kematian. Hal ini karena ritual-ritual tersebut terkait dengan musim tanam dan panen.

Masyarakat Toraja mengolah sawahnya dengan menanami padi jenis gogo yang tinggi batangnya. Di sepanjang jalan akan Anda temui padi dijemur dimana batangnya diikat dan ditumpuk ke atas. Padi dengan tangkainya tersebut disimpan di lumbung khusus yang dihiasi dengan tanduk kerbau pada bagian depan serta rahang kerbau di bagian sampingnya.

Tana Toraja memiliki dua jenis upacara adat yang populer yaitu Rambu Solo dan Rambu Tuka. Rambu Solo adalah upacara pemakaman, sedangkan Rambu Tuka adalah upacara  atas rumah adat yang baru direnovasi.

Khusus Rambu Solo, masyarakat Toraja percaya tanpa upacara penguburan ini maka arwah orang yang meninggal tersebut akan memberikan kemalangan kepada orang-orang yang ditinggalkannya. Orang yang meninggal hanya dianggap seperti orang sakit, karenanya masih harus dirawat dan diperlakukan seperti masih hidup dengan menyediakan makanan, minuman, rokok, sirih, atau beragam sesajian lainnya.

Upacara pemakaman Rambu Solo adalah rangkaian kegiatan yang rumit ikatan adat serta membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Persiapannya pun selama berbulan-bulan. Sementara menunggu upacara siap, tubuh orang yang meninggal dibungkus kain dan disimpan di rumah leluhur atau tongkonan.

Puncak upacara Rambu Solo biasanya berlangsung pada bulan Juli dan Agustus. Saat itu orang Toraja yang merantau di seluruh Indonesia akan pulang kampung untuk ikut serta dalam rangkaian acara ini. Kedatangan orang Toraja tersebut diikuti pula dengan kunjungan wisatawan mancanegara.

Dalam kepercayaan masyarakat Tana Toraja (Aluk To Dolo) ada prinsip semakin tinggi tempat jenazah diletakkan maka semakin cepat rohnya untuk sampai menuju nirwana.

Bagi kalangan bangsawan yang meninggal maka mereka memotong kerbau yang jumlahnya 24 hingga 100 ekor sebagai kurban (Ma’tinggoro Tedong). Satu di antaranya bahkan kerbau belang yang terkenal mahal harganya. Upacara pemotongan ini merupakan salah satu atraksi yang khas Tana Toraja dengan menebas leher kerbau tersebut menggunakan sebilah parang dalam sekali ayunan. Kerbau pun langsung terkapar beberapa saat kemudian.

Masyarakat Toraja hidup dalam komunitas kecil di mana anak-anak yang sudah menikah meninggalkan orangtua mereka dan memulai hidup baru di tempat lain. Meski anak mengikuti garis keturunan ayah dan ibunya tetapi mereka semua merupakan satu keluarga besar yang tinggal di satu rumah leluhur (tongkonan).

Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial Suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual Suku Toraja. Oleh karena itu, semua anggota keluarga diharuskan ikut serta sebagai lambang hubungan mereka dengan leluhur. [Mile kp]

TerPopuler