NUSANTARAEXPRESS, JAKARTA - 11/09/17, Angka kekerasan terhadap anak dalam berbagai bentuk perisakan (bullying) dilingkungan sekolah baik yang dilakukan guru, pengelolah lembaga pendidikan maupun sesama peserta didik dua tahun tetakhir ini terus saja meningkat.
Melalui pengaduan langsung dan pelayananan hotline service, Komisi Nasional Perlindungan Anak sebagai lembaga independen berbadan hukum dibidang pembelaan, promosi dan perlindungan anak di Indonesia, ditahun 2015 menerima 89 pengaduan perisakan terhadap anak dilingkungan sekolah, meningkat di tahun 2016 menjadi 112, dan 68 kasus di tahun 2017 (Januari -Juni).
Pengaduan masyarakat atas kasus perisakan ini umumnya datang dari masyarakat disekitar wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bogor (Jabodetabek) sebagian dari wilayah Banten, Jawa Barat, dan Lampung beberapa kasus datang dari Jawa Tengah dan Medan.
Pengaduan yang diterima Komnas Perlindungan Anak, pelaku perundungan sebutan lain dari perisakan, 48 % dilakulan sesama peserta didik, 22 % oleh guru 15% oleh pengelolah sekolah dan selebihnya dilakukan oleh lain-lain.
Data yang diterima dan dikumpulkan Pusat Data dan Informasi ( Pusdatin) Komnas Anak sepanjang tahun 2016 dan 2017, perundungan yang dilakukan guru atau pengelolah sekolah, dilakukan dalam bentuk mengejek, menghina mengucilkan, membanding-bandingkan kepintaran antara satu siswa ke siswa lain serta merendakan martabat anak bahkan dilakukan dalam bentuk memberikan sanksi dikeluarkan dari jam-jam mata pelajaran yang diberikan guru dan wali kelasnya.
Sementara perisakan yang dilakukan sesama peserta didik (murid) dilingkungan sekolah dilaporkan dilakukan dalam bentuk intimidasi, pemalakan, kekerasan fisik dalam bentuk menendang dan menampar korban, menjambak rambut, memerintahkan mencium kaki pelaku dan kekerasan seksual dalam bentuk memerintahkan berciuman dihadapan pelaku yang disaksikan secara beramai- ramai serta mendokumentasikan dalam bentuk photo danbatau video , memeras payu dara korban, mengucilkan dari ruang kelas serta dari aktivitas sekolah.
Kasus perisakan yang tejadi beberapa bulan lalu yang dilakukan siswa dan siswi SMP dan SD terhadap siswi SMP di Pusat Perbelanjaan Thamrin City Jakarta Pusat dan telah menyedot perhatian masyarakat, adalah satu bentuk kasus perisakan yang sulit diterima akal sehat manusia karena diinisiasi oleh siswa dan siswi pada usia SD dan SMP.
Kasus yang hampir serupa juga terjadi di SMP Lembata NTT, namun ironisnya perisakan ini justru dilakukan oleh guru yang seyogianya memberikan perlindungan kepada muridnya. Namun BB yang menjadi guru bahasa Indonesia di SMP Lembata Nusa Tenggara Timur (NTT) justru melakukan perisakan yang sulit diterima akal sehat yang mengakibatkan FK, 16, siswa kelas satu SMP itu melakukan percobaan bunuh diri dengan cara menenggak racun rumput dirumahnya karena tidak tahan mendapat ejekan dan hinaan dari gurunya.
Belum juga usai kasus perisakan yang terjadi di Pusat Perbelanjaan Thamrin City di Jakarta Pusat dan kasus perundungan terhadap FK , 16, di SMP Lembata NTT, Komnas Perlindungan Anak melalui temuan Quick Investigator LPA Siantar dan laporan media di Siantar dikejutkan dengan kasus dugaan perisakan yang diduga dilakukan 2 orang guru terhadap SDHP muridnya disalah satu SMA A di Siantar. Namun kasusnya belum mendapatkan kepastian hukum sekalipun telah dilaporkan ke Polsek Bangun.
Menurut keterangan orangtua korban, perisakan yang diderita anaknya SDHP, lutut anaknya bergeser karena diduga mendapat tendanngan kaki guru dan kepala bagian belakang terasa bengkak karena juga diduga akibat dari pukulan benda tumpul. Dan karena mendapat bullying itu korban saat ini tidak lagi mau sekolah karena trauma, gangguan mental dan takut untuk memberikan keterangan kepada penyidik.
Berdasarkan pengalaman empirik Komnas Anak sebutan lain dari Komnas Perlindungan Anak dalam menangani anak yang mengalami perundungan "bullying" yang terjadi dilingkungan sekolah selama ini, jika tidak ditangani dan didampingi secara baik dapat menimbulkan gangguan psikologis bahkan dorongan untuk melakukan bunuh diri. Kasus percobaan bunuh diri yang dilakukan FK (15) dengan menenggak racun rumput setelah mendapat perisakan dari gurunya adalah salah satu bukti nyata dampak buruk dari perundungan itu, jika tidak dihentikan akan berdampak negatif terhadap perkembangan psikologis dan intelektualitas korban, demikian disampaikan Arist Merdeka Sirait Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak kepada Media di Jakarta Senin 11/09/17 untuk menanggapi meningkatkan kasus-kasus bullying di ruang kelas dan lingkungan lembaga pendidikan di Indonesia.
Mengingat dampak buruk dari perisakan "bullying", dapat merusak masa depan anak dan intelektualitas anak, Arist Merdeka Sirait aktivis Perlindungan Anak yang telah digeluti sejak 27 tahun lalu, memandang perlu mendorong dan mendesak Menteri Pendidikan Nasional mengimplementasikan pasal 54 UU RI No. 23 Tahun 2002 yang telah diubah kedalam UU RI No. 36 Tahun 2014 tetang Perlindungan Anak junto UU RI No. 23 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional yang mewajibkan lingkungan sekolah menjadi zona aman dan anti kekerasan terhadap anak.
Disamping itu, untuk memastikan kasus bullying sebagai isdue bersama (commond isdue) serta untuk memutus mata rantai Perisakan "bullying" dilingkungan sekolah sangatlah diperlukan komitmen bersama antara komite sekolah, orangtua, peserta didik dan otoritas pengelolah sekolah untuk melibatkan anak bicara tentang solusi bullying.
Untuk kepentingan terbaik anak dan untuk melindungi anak dari ancaman bullying diruang kelas dan lingkungan sekolah, berdasarkan komitmen dan perjanjian international yang didasari oleh artikel Konvensi PBB Tentang Hak Anak serta komitmen pemerintah tentang dunia layak anak, Komnas Perlindungan Anak, dalam waktu tidak begitu lama segera mendorong Mendiknas menggagas bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk mengeluarkan Peraturan Bersama Menteri dan lintas lembaga yang mewajibkan Lingkungan Sekolah menjadi Sekolah Ramah Anak dan memberikan apresiasi dan penghargaan "reward " bagi sekolah ramah anak, tambah Arist. [Denni]